Keterampilan Dasar Pemimpin, Perspektif Islam

Ilustrasi
Poin pertama berbicara tentang kualitas kepribadian yang harus menjadi teladan dan senantiasa mengampanyekan kebenaran dalam setiap keputusan-keputusan termasuk dalam perundang-perundangan. Berbicara tentang kepribadian, maka kesalehan menjadi salah satu karakter yang lekat dengan dirinya sebagai seorang pemimpin.
Bagaimana menebar aroma harum jika tidak diparfum? Apalagi jika badannya bau keringat yang semerbak. Alangkah tidak bijaksana jika ketakwaan tidak dijadikan salah satu syarat menjadi seorang pemimpin.
Betapa tidak cerdasnya orang yang menghilangkan kriteria ketaatan beragama dalam kontestasi kepemimpinan negeri. Ini sama saja dengan paham sekuler yang memisahkan agama dengan perkara-perkara dunia khususnya dalam urusan negara.
Kepribadian takwa yang melekat kuat akan menjadi modal utama untuk bisa memobilisasi orang-orang yang dipimpin dan membimbing umat serta mengarahkannya agar menetapi jalan petunjuk hidup yang lurus.
Kemudian, basic skill nomor dua adalah memiliki kesabaran yang teruji. Secara arti bahasa sabar berarti menahan, secara istilahnya sabar berarti menahan gerak-gerik hawa nafsu. Dalam ilmu tazkiyatun nafs, sabar diibaratkan tali kekang bagi kuda liar (nafsu), tanpa tali kekang maka kuda akan bertindak sesukanya tanpa kendali.
Dalam realisasinya, para ulama membagi sabar ke dalam tiga wilayah kehidupan, yaitu sabar dalam menjalani ketaatan, sabar untuk tidak bermaksiat, dan sabar dalam menerima takdir. Jika sabar tidak menetapi ke tiga wilayah tersebut, nafsu akan menjadikan seseorang liar sehingga rusaklah cara menyikapi sesuatu.
Nafsu itu benci kebenaran dan nafsu itu akan mendorong seseorang untuk keluar dari jalur peribadatan, maka tahan! Nafsu itu menarik hati untuk tergiur melakukan kemaksiatan, maka tahan! Nafsu itu cenderung keluh kesah dan gelisah dalam menghadapi hiruk pikuk kehidupan, maka tahan!
Bayangkan, bukankah pemimpin itu memiliki urusan yang begitu kompleks? Jika sabar lenyap dalam dirinya maka bagaimana jadinya?
Jika seseorang tidak sabar dalam ketaatan, contohnya akan tergesa-gesa dalam shalat. Apa yang bisa diharapkan dari seorang pemimpin yang shalatnya rusak? Bukankah shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar?
Jika seseorang tidak sabar dalam menjauhi maksiat, maka dia akan bermudah-mudahkan dalam berbuat dosa. Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang seperti ini?