Ketaatan pada Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an

 Ketaatan pada Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an

Ilustrasi

Ad-Dāwudi berkata: riwayat ini adalah suatu kekeliruan, maksudnya merupakan penisbatan yang tidak benar kepada Ibnu ‘Abbas. Sebab, kisah ‘Abdullah bin Ḥudzāfah adalah bahwa ia keluar bersama suatu pasukan, lalu ia marah, kemudian menyalakan api dan berkata: “Terjunlah ke dalamnya!” Sebagian pasukan menolak, dan sebagian hampir melakukannya. Ia berkata: jika ayat tersebut turun sebelum peristiwa ini, maka bagaimana mungkin ketaatan dikhususkan hanya kepada ‘Abdullah bin Ḥudzāfah dan tidak kepada yang lain? Dan jika ayat itu turun setelah peristiwa tersebut, maka yang dikatakan kepada mereka hanyalah: “Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara yang ma‘ruf,” dan tidak dikatakan kepada mereka: “Mengapa kalian tidak menaati dia?”
Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar menjawab bahwa yang dimaksud dari pengaitan ayat dengan kisah tersebut adalah bagian ayat: “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara …”. Sebab, para sahabat saat itu berselisih pendapat antara melaksanakan perintah tersebut atau menahan diri karena takut dari api. Maka sangat sesuai jika turun ayat yang memberi petunjuk kepada mereka tentang apa yang harus dilakukan ketika terjadi perselisihan, yaitu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat ini menegaskan bahwa ketaatan kepada pemimpin dalam Islam tidak bersifat mutlak, tetapi terikat pada perkara yang ma‘ruf dan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Ketika terjadi perintah yang menimbulkan keraguan atau bertentangan dengan syariat, umat diperintahkan untuk tidak bersikap gegabah, melainkan mengembalikan persoalan tersebut kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Hikmah dan Ibrah
Kata أَطِيعُوا berasal dari kata kerja أَطَاعَ – يُطِيعُ – طَاعَةً yang berarti “tunduk”, “patuh” dan “mengikuti perintah dengan kerelaan”. Dalam ayat 59 Surah An-Nisā’, bentuk fi‘il amr (kata perintah) أَطِيعُوا menunjukkan kewajiban untuk menaati pihak yang disebutkan setelahnya.
Secara bahasa, ṭā‘ah bukan sekadar melakukan perintah, tetapi melakukannya dengan kesadaran dan kepatuhan, bukan karena paksaan. Karena itu, kata ṭā‘ah sering digunakan untuk ketaatan kedapa Allah dan Rasul-Nya yang disertai penerimaan batin. Secara terminologi syar‘i, ṭā‘ah berarti “Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya dengan penuh kepatuhan, serta menaati pemimpin selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat.”
Surah an-Nisā’ ayat 59 menegaskan prinsip fundamental dalam Islam mengenai hirarki dan batas ketaatan. Ketaatan mutlak hanya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara ketaatan kepada ulil amri bersifat bersyarat, yakni selama kebijakan dan perintah mereka sejalan dengan nilai keadilan, kemaslahatan, serta ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian, Islam tidak melegitimasi kekuasaan yang absolut, apalagi kekuasaan yang dijalankan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Ayat ini juga tidak dapat dipisahkan dari Surah an-Nisā’ ayat 58 yang meletakkan amanah dan keadilan sebagai fondasi kepemimpinan. Ketaatan rakyat bukanlah kewajiban tanpa syarat, melainkan konsekuensi dari terpenuhinya amanah tersebut. Ketika pemimpin—baik legislatif maupun eksekutif—membuat kebijakan yang mengabaikan kondisi rakyat, memperparah penderitaan sosial, atau sarat kepentingan pribadi, maka secara moral dan normatif kebijakan tersebut bertentangan dengan ruh ajaran Islam.
Dalam konteks kekinian, ayat ini sangat relevan sebagai instrumen kritik etis dan normatif terhadap praktik kepemimpinan yang tidak berpihak kepada keadilan sosial. Islam memberikan jalan tengah antara ketaatan buta dan pembangkangan anarkis: umat diperintahkan untuk bersikap kritis, rasional, dan beradab dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai standar penilaian terhadap kebijakan publik. Penolakan terhadap kebijakan zalim, selama dilakukan secara konstitusional dan bermoral, justru sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Penutup
Konsep ketaatan dalam Islam berdasarkan Q.S. an-Nisā’ ayat 59 dengan menekankan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul merupakan dasar utama bagi seorang Muslim. Para mufassir seperti Sayyid Qutb dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa menaati Rasul berarti menaati Allah karena beliau membawa dan menjelaskan syariat-Nya. Ayat ini juga memerintahkan untuk taat kepada ulil amri, baik yang dimaknai sebagai pemimpin maupun ulama, namun ketaatan kepada mereka tidak bersifat mutlak dan hanya berlaku selama sesuai dengan ajaran syariat.
Selain itu, ayat ini menegaskan bahwa setiap perselisihan harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum tertinggi. Mujahid, Ibnu Katsir, dan ulama lainnya menekankan bahwa rujukan kepada wahyu akan menghasilkan keputusan yang paling adil dan membawa keberkahan. Karena itu, kestabilan kehidupan umat sangat bergantung pada sejauh mana mereka berpegang pada petunjuk Ilahi dalam menyelesaikan segala persoalan.[]
*Mahasiswa PTIQ Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + three =