Ketaatan pada Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an

 Ketaatan pada Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an

Ilustrasi

2. Ketaatan kepada Ulil Amri
Poin kedua dari Surat an-Nisa ayat 59 ini adalah ketaatan kepada ulil amri.
وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ
“Dan ulil amri di antara kamu.”
Kata ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ memiliki beberapa makna dan perbedaan penafsiran dari kalangan para Mufassir, Menurut At-Tabari, “ulil amri” paling tepat dimaknai sebagai al-umara’ (para pemimpin, penguasa atau pemerintah). Namun disini At-Tabari membedakan bahwa ketaatan kepada “ulil amri” tidak bersifat mutlak, berbeda dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul. Ketaatan hanya diwajibkan sepanjang mereka menjalankan tugas sesuai syariat (tetap ketaat yang mutlak hanya kepada Allah dan Rasul-Nya).
Menurut Ibnu Katsir, serta beberapa salaf seperti Mujahid, Aṭā’, al-Hasan al-Basri, dan Abu al-Aliyah, menafsirkan “ulil amri” sebagai ahli-ahli agama, ulama dan fuqaha. Dengan demikian, “ulil amri” dalam arti ini merujuk kepada mereka yang mempunyai otoritas keilmuan bukan semata penguasa politik. Pendapat ini muncul karena dalam praktik awal Islam, orang yang paling layak memutuskan perkara (khususnya perkara agama) adalah ulama atau ahli ilmu. (Ibnu Katsir, 1999).
Melalui firman Allah pada ayat selanjutnya: “Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka, tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?” (Al-Maidah: 63)
Firmannya yang lain:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah oleh kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya: 7)
Ketaatan yang terkandung dalam kata ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ adalah ketaatan kepada pemimpin hanya berlaku selama perintahnya sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, karena ketaatan hanya ada dalam kebaikan. Jika terjadi perselisihan, masalah tersebut harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis shahih mengatakan:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam masalah kebajikan.”
Dalam hadis lain juga menyebutkan:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah”
Dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai siapa yang dimaksud dengan ulil amri. Salah satu analisis kebahasaan yang menarik dari tafsir ini adalah pengulangan kata “aṭī‘ū” (taatilah) dua kali dalam frasa “Taatilah Allah dan taatilah Rasul…”. Pengulangan ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya bersifat mutlak.
Menurut M. Quraish Shihab, ulil amri mencakup siapa pun yang memiliki otoritas atau keahlian di bidangnya, seperti ulama, cendekiawan, pemerintah, militer, dan para profesional. Ketaatan kepada mereka tidak bersifat mutlak, tetapi hanya berlaku selama perintah mereka sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul. Jika perintah itu bertentangan dengan syariat atau mengarah pada kemaksiatan, maka kewajiban untuk taat gugur. (Quraish Shihab, 2002: 67).
Quraish Shihab juga menekankan bahwa ayat 59 ini tidak bisa dipisahkan dari ayat sebelumnya (An-Nisa: 58): Memerintahkan para pemimpin untuk menunaikan amanah dan menetapkan hukum dengan adil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × three =