Keluhan, Kritik dan Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Al-Qur’an
Ilustrasi: Skrol media sosial.
Namun demikian, Al-Qur’an juga mengakui realitas kezaliman yang dialami manusia. Oleh karena itu, ayat ini membuka ruang bagi korban untuk mengungkapkan ketidakadilan yang menimpanya. Dalam konteks kekinian, hal ini mencakup pelaporan penipuan, pengungkapan kekerasan, kritik terhadap kebijakan yang merugikan, atau keluhan terhadap pelayanan publik yang tidak adil. Semua bentuk ungkapan tersebut termasuk dalam jahr yang dibenarkan, selama bertujuan menegakkan keadilan, disampaikan secara jujur, dan tidak melampaui batas etika.
Sebaliknya, praktik-praktik seperti serangan karakter, penyebaran aib pribadi, fitnah digital, dan persekusi massal di ruang maya merupakan bentuk jahr bis-sū’ yang dikecam oleh ayat ini. Tindakan tersebut tidak lagi berfungsi sebagai sarana mencari keadilan, melainkan berubah menjadi instrumen kebencian yang melahirkan kerusakan sosial baru. Dalam hal ini, QS. An-Nisā’ 148–149 berfungsi sebagai filter etis untuk membedakan antara suara korban dan suara kebencian.
Dengan demikian, kontekstualisasi ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak membungkam kritik dan keluhan, tetapi mengarahkannya agar tetap berada dalam koridor keadilan, kebenaran, dan kemaslahatan. Di tengah arus komunikasi yang sering dikendalikan oleh emosi sesaat, ayat ini menawarkan keseimbangan antara keberanian bersuara dan keutamaan menahan diri, antara hak individu dan tanggung jawab sosial, sehingga ruang publik tidak berubah menjadi arena saling melukai, tetapi menjadi sarana perbaikan bersama.
Kesimpulan
QS. An-Nisā’ ayat 148–149 menegaskan prinsip etika komunikasi dalam Islam dengan meletakkan batas yang jelas antara kebebasan berbicara dan tanggung jawab moral. Allah tidak menyukai pengumbaran ucapan buruk secara terbuka karena dampaknya yang merusak kehormatan individu dan tatanan sosial. Namun, Al-Qur’an juga memberikan pengecualian bagi orang yang benar-benar dizalimi, sebagai bentuk keadilan dan pengakuan atas hak korban untuk menyampaikan keluhan serta mencari pembelaan.
Kajian kosakata, sebab turunnya ayat, munāsabah, serta penjelasan para mufassir menunjukkan bahwa pengecualian tersebut tidak bersifat mutlak. Kebolehan berbicara bagi korban dipahami sebagai rukhṣah yang dibatasi oleh kejujuran, proporsionalitas, dan tujuan menegakkan keadilan, bukan sebagai legitimasi untuk melampiaskan emosi, mencaci secara berlebihan, atau menyebarkan kebencian yang melahirkan kezaliman baru. Dengan demikian, Islam menjaga agar keadilan tidak berubah menjadi sumber kerusakan sosial.
Dalam konteks kehidupan modern, khususnya di era media sosial, ayat ini memberikan fondasi etika yang sangat relevan. Kritik, keluhan, dan pengungkapan ketidakadilan yang bertujuan memperbaiki keadaan termasuk bentuk jahr yang dibenarkan. Sebaliknya, fitnah, persekusi digital, dan ujaran kebencian merupakan bentuk jahr bis-sū’ yang dikecam karena merusak kemaslahatan bersama.
Melalui QS. An-Nisā’ 148–149, Al-Qur’an menawarkan keseimbangan antara keberanian bersuara dan keutamaan menjaga etika, sehingga ruang publik tidak menjadi arena saling melukai, tetapi sarana menegakkan keadilan dan kebaikan sosial. []
*Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas PTIQ Jakarta.
