Keluhan, Kritik dan Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Al-Qur’an

 Keluhan, Kritik dan Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Al-Qur’an

Ilustrasi: Skrol media sosial.

Pandangan Para Mufassir

Para mufassir besar memberikan gambaran yang lebih rinci tentang batas ucapan yang dimaksud dalam ayat ini. Al-Ṭabarī mengutip pendapat Ibn Abbas bahwa Allah tidak menyukai doa buruk terhadap seseorang, kecuali bila doa itu keluar dari orang yang benar-benar dizalimi. (Al-Ṭabarī, 2000: 344) Izin tersebut dipahami sebagai bentuk rukhṣah (keringanan), bukan celah untuk melepaskan kemarahan tanpa kendali atau menjadikan doa sebagai sarana balas dendam.

Ibnu Katsīr menguatkan arah makna ini melalui riwayat tentang Aisyah yang pernah melaknat pencuri barang miliknya. Nabi Saw menegur dengan mengatakan:

لَا تُسَبِّخِي عَنْهُ

“Janganlah engkau membuatnya ringan” (dengan mencabut pahala atau mengurangi balasan dosanya).” (Ibnu Katsīr, 1998: 392)

Dari hadits diatas dapat kita pahami bahwa doa buruk tidak boleh membuat seseorang mendapatkan hukuman yang lebih ringan atau justru menimbulkan ketidakadilan baru. Dari sini terlihat bahwa sekalipun korban diberi ruang untuk bersuara, ucapannya tetap harus tunduk pada prinsip keadilan, bukan semata-mata dorongan emosi pribadi.

Al-Qurṭubī memberikan penjelasan fikih yang cukup rinci mengenai ayat ini. Baginya, pengecualian “kecuali orang yang dizalimi” membuka ruang bagi korban untuk mengungkap ucapan yang pada asalnya tercela, tetapi hanya dalam batas keadilan. Bentuk ucapan yang dibolehkan mencakup mengadukan kezaliman, mendoakan keburukan kepada pelaku menurut sebagian ulama, atau membalas ucapan dengan kadar yang setimpal sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abbās, As-Suddī, dan para mufassir lainnya. (Al-Qurṭubī, 1964: 1)

Ia kemudian menyampaikan contoh-contoh konkret yang termasuk dalam kategori tersebut: tamu yang tidak dijamu dengan layak, korban pencurian, pelaku maksiat yang terang-terangan melakukan kemungkaran, hingga orang munafik yang keburukannya dapat diungkapkan demi menjaga kemaslahatan. Meski begitu, al-Qurṭubī menegaskan bahwa kelonggaran ini tidak bersifat mutlak. Seorang mukmin tidak boleh membalas dengan tuduhan yang lebih berat, seperti menuduh zina tanpa bukti, dan masyarakat umum tidak boleh mencela tokoh berpengaruh dengan cara yang melampaui kedudukannya. (Al-Qurṭubī, 1964: 3-4)

Dengan gambaran tersebut, terlihat bahwa ruang berbicara bagi orang yang dizalimi memang diakui. Namun kebebasan itu tetap dibatasi oleh etika, dan tujuan menjaga agar keadilan tidak berubah menjadi pelampiasan yang justru menambah kerusakan sosial.

Sementara itu, Wahbah al-Zuḥailī dalam Tafsīr al-Munīr memberikan penjelasan yang lebih normatif mengenai ayat ini. Menurutnya, ketentuan tersebut menegaskan bahwa Allah membenci setiap bentuk ucapan buruk yang disampaikan secara terang-terangan, baik berupa celaan, doa buruk, maupun kata-kata yang melukai kehormatan seseorang. Larangan ini bersifat umum dan mencakup seluruh bentuk ekspresi lisan yang menimbulkan kerusakan sosial. (Al-Zuḥailī, 1997: 7)

Meski demikian, al-Zuḥailī menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kezaliman memperoleh keringanan untuk menyampaikan keluhannya. Korban boleh mengungkap perlakuan buruk yang diterimanya, memohon doa agar kezaliman itu diangkat, atau menjelaskan fakta yang diperlukan untuk menegakkan keadilan. Keringanan ini tetap dibatasi oleh etika, sebab ia bukan izin untuk mencaci, membalas secara berlebihan, atau memperluas keburukan melalui ucapan yang tidak perlu. (Al-Zuḥailī, 1997: 7)

Kontekstualisasi

Surah An-Nisā’ ayat 148–149 memiliki relevansi yang sangat kuat dalam konteks kehidupan masyarakat modern, khususnya di era komunikasi digital yang ditandai oleh keterbukaan informasi dan kecepatan penyebaran ucapan. Media sosial telah mengubah pola interaksi manusia, di mana setiap individu dapat dengan mudah menyampaikan pendapat, keluhan, kritik, bahkan kemarahan, tanpa selalu mempertimbangkan dampak etis dan sosial dari ucapan tersebut. Dalam situasi ini, batas antara kritik yang sah dan ujaran kebencian sering kali menjadi kabur.

Ayat ini memberikan kerangka normatif yang penting dalam menimbang persoalan tersebut. Larangan Allah terhadap jahr bis-sū’ menegaskan bahwa penyebaran ucapan buruk secara terbuka pada dasarnya bertentangan dengan etika Islam, karena berpotensi merusak kehormatan individu dan memperkeruh tatanan sosial. Prinsip ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berekspresi tidak bersifat mutlak, melainkan harus dibingkai oleh tanggung jawab moral dan kesadaran akan akibat sosial dari setiap ucapan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 + 4 =