Keluhan, Kritik dan Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Al-Qur’an

 Keluhan, Kritik dan Ujaran Kebencian di Media Sosial Menurut Al-Qur’an

Ilustrasi: Skrol media sosial.

Oleh: Muhamad Yusup*

DI ERA era ketika media sosial memberi setiap orang panggung terbuka, batas antara keluhan, kritik, dan ujaran kebencian kian kabur. Ungkapan kekesalan dapat beredar lebih cepat daripada proses verifikasi, sementara kata-kata berubah menjadi alat yang mampu melukai lebih tajam daripada tindakan fisik. Ruang digital pun sering dipenuhi luapan emosi yang terlepas sebelum sempat diuji kebenarannya.

Dalam suasana seperti ini, QS. An-Nisā’ ayat 148–149 menghadirkan kerangka etika yang sangat relevan. Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diumbar secara terang-terangan, kecuali dari seseorang yang benar-benar mengalami kezaliman.

Pesan ini tidak hanya bersifat pengarahan moral, tetapi juga menjadi pijakan penting untuk menimbang keseimbangan antara hak korban untuk menyuarakan ketidakadilan dan tanggung jawab menjaga ruang publik agar tidak tenggelam dalam gelombang kebencian.

Ayat tersebut berbunyi:

لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا ۝١٤٨ اِنْ تُبْدُوْا خَيْرًا اَوْ تُخْفُوْهُ اَوْ تَعْفُوْا عَنْ سُوْۤءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيْرًا ۝١٤٩

“Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terus terang, kecuali oleh orang yang dizalimi. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika kamu menampakkan atau menyembunyikan suatu kebaikan atau memaafkan suatu kesalahan, sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa.” (QS. An-Nisā’: 148–149).

Kajian Kosakata

Secara gramatikal, kata al-jahr dalam ayat ini merujuk pada tindakan menampakkan sesuatu dengan jelas dan keras. (al-Aṣfahānī, 1991: 208) Penjelasan ini dikemukakan al-Aṣfahānī dalam Al-Mufradāt Fī Gharīb Al-Qur’ān. Adapun as-sū’ mencakup segala bentuk keburukan yang menyakitkan, baik yang menyasar fisik, perasaan, maupun kehormatan seseorang. (al-Aṣfahānī, 1991: 441)

Dengan makna tersebut, ayat ini tidak sedang menyoroti “ucapan jelek” dalam arti sederhana. Fokusnya jauh lebih luas, yaitu perilaku menyebarkan keburukan secara terbuka di ruang publik sehingga menimbulkan dampak sosial yang lebih serius. Pesan ini memberi sinyal bahwa persoalan lisan bukan sekadar etika personal, tetapi menyangkut kualitas kesehatan moral masyarakat.

Asbabun Nuzul

Para mufassir menyebutkan bahwa sabab nuzul ayat ini berkaitan dengan peristiwa ketika seseorang diperlakukan tidak layak. Salah satu kasus yang sering dikutip adalah tentang seorang tamu yang tidak dijamu dengan baik, lalu menyampaikan perlakuan buruk itu secara terbuka di hadapan orang lain. Riwayat-riwayat ini memberi gambaran bahwa persoalannya bukan sekadar etika bertamu, tetapi bagaimana seseorang merespons ketidakadilan yang menimpanya.

Al-Ṭhabarī menukil riwayat dari Mujāhid bahwa ayat ini turun terkait seorang tamu yang diperlakukan tidak semestinya oleh tuan rumah, sehingga ia mengungkapkan kejadian tersebut apa adanya. (Al-Ṭhabarī, 2000: 347) Dari rangkaian riwayat tersebut terlihat jelas bahwa ayat ini tidak bertujuan membungkam suara orang yang mengalami kezaliman. Sebaliknya, ayat ini menegaskan bahwa keluhan boleh disampaikan, asalkan tetap berada dalam koridor kejujuran, dan etika agar tidak berubah menjadi serangan yang melampaui batas.

Munasabah Ayat

Munasabah ayat ini membantu memperjelas arah makna yang dimaksud. Ayat 148–149 masih berada dalam rangkaian pembahasan tentang sifat, perilaku, dan ucapan kaum munafik serta Ahlul Kitab. Setelah Allah memperingatkan kaum beriman mengenai kerusakan yang lahir dari ucapan mereka, ayat berikutnya menjelaskan aturan tentang mengumbar keburukan secara terang-terangan dan tentang menampakkan atau menyembunyikan kebaikan. (al-Zuhaili, 1997: 6)

Penjelasan ini penting agar kaum beriman tidak menyangka bahwa jahar bis-sū’ dibolehkan secara mutlak, sebab kebebasan tanpa batas dalam mengucapkan keburukan hanya akan memperluas aib, kemungkaran, dan kerusakan sosial. Kebolehan tersebut dibatasi pada kondisi ketika seseorang benar-benar mengalami kezaliman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 4 =