Keilmuan dan Kecerdasan Ibnu Abbas
Ilustrasi: Santri membaca kitab. [foto: belajarkreatif.org]
Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah Saw pernah mendekapku lalu berkata, ‘Ya Allah, berilah ia ilmu tentang tafsir’.”
Thawus berkata dari Ibnu Abbas, ia bercerita, “Aku dulu pernah bertanya tentang satu perkara kepada 30 orang sahabat Rasul”
Al-Mughirah menuturkan dari Asy-Sya’bi, bahwa Ibnu Abbas ditanya tentang cara mendapatkan ilmu. Ia menjawab, “Dengan lidah yang banyak tanya dan hati yang banyak paham.”
Diriwayatkan dari Umar, bahwa ia menyuruh Ibnu Abbas untuk duduk bersama para syekh dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Lalu Umar berkata, “Sebaik-baik penafsir Al-Qur’an adalah Abdullah bin Abbas.”
Acapkali ia datang, Umar berkata, “Telah datang pemuda yang mengalahkan orang-orang tua, pemilik lidah yang banyak tanya dan hati yang banyak paham.”
Ibnu Abbas ra telah berfatwa semenjak masa kekhalifahan Umar bin Al-Khathab sampai ia wafat.
Tentang Ibnu Abbas, Said bin Al-Musayyib menggambarkan, “Ibnu Abbas adalah orang yang sangat pandai.”
Sementara Ubaidullah bin Utbah mengungkapkan keutamaan Ibnu Abbas, “Ibnu Abbas mengungguli orang-orang dengan sejumlah kelebihan: Ia tahu pendapat lain yang mendahuluinya mengerti apa yang dibutuhkan dari pendapatnya, sabar, dan nasab. Aku tidak mendapati ada orang lain yang lebih tahu tentang hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, keputusan hukum Abu Bakar, Umar dan Utsman, daripada darinya. Tidak ada pula yang lebih tahu mengenai syair dan bahasa Arab, tafsir Al-Qur’an, hisab, fara’idh, serta tidak ada yang lebih cemerlang akalnya dan tidak ada yang lebih tahu bentang beragam peperangan daripada dia.”
Abdullah bin Abbas punya pendapat yang cemerlang: la pernah menyarankan kepada Ali agar tidak memutasi Muawiyah dan membiarkannya tetap sebagai Gubernur Syam. Ia sampai mengatakan kepada Ali, “Kalau engkau mau memakzulkannya, angkatlah dia sebagai gubernur di tempat yang lain selama sebulan, setelah itu makzulkanlah dia selamanya.”
Tetapi Ali menolak dan memilih memerangi Muawiyah. Ketika kedua kelompok (Ali dan Muawiyah) setuju didamaikan melalui dua juru damai yang mereka sepakati, Ibnu Abbas diminta menjadi utusan kelompok Ali tetapi penduduk Yaman menolak. Yang mereka setujui adalah Abu Musa Al-Asy’ari. [Syekh Muhammad Khubairi, “Kecerdasan Fuqaha dan Kecerdikan Khulafa”]
