Kedudukan Budaya dalam Hukum Islam

 Kedudukan Budaya dalam Hukum Islam

Ilustrasi

BUDAYA atau adat-istiadat diistilahkan dalam bahasa Arab sebagai al-‘adat atau al-‘urf adalah produk pemikiran, hanya saja tidak dalam bentuk materi, tetapi non-materi.

Budaya merupakan bagian dari peradaban (hadharah), bukan produk materi (madaniyyah). Sebagai produk pemikiran, budaya lahir dari akidah tertentu. Ketika budaya itu sesuai dengan syariah Islam, tidak bisa serta-merta diklaim sebagai bagian dari Islam, karena budaya tersebut lahir dari akidah lain, bukan dari akidah Islam. Seperti sesajen yang beberapa waktu lalu ramai diperbincangkan, maka ini termasuk budaya yang bertentangan dengan Islam dan umat Islam tidak boleh mengambilnya.

Ada sebagian fuqaha’ menjadikan budaya sebagai dalil, alasannya karena Allah SWT memerintahkan: “Jadilah pemaaf, suruhlah orang mengerjakan yang makruf dan jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS al-A’raf: 199).

Frasa, “wa’mur bi al-urf” (suruhlah mengerjakan berdasarkan kebiasaan) ini digunakan sebagai justifikasi, padahal klaim ini justru keliru, karena jika kita mendalami ayat ini, sebenarnya tidak ada relevansinya dengan adat atau budaya. Karena ayat ini merupakan ayat Makkiyah, diturunkan sebelum Nabi Saw hijrah ke Madinah. Makna ayat ini, “Ambillah perbuatan, akhlak masyarakat dan apa saja yang datang dari mereka, yang dibenarkan untukmu (Muhammad). Kamu pun mudah berinteraksi dengan mereka, tanpa beban. Kamu tidak meminta jerih payah dari mereka, dan apa saja yang bisa memberatkan mereka, sehingga mereka lari. Mengenai perintah, “wa’mur bi al-‘urfi” maknanya wa’mur biljamili minal af’aal adalah perintahkanlah perbuatan baik. ‘Urf di sini konotasinya adalah al-ma’rûf (perbuatan yang terpuji) (Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Ash-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah juz 3).

Begitu juga terdapat dalam sabda Nabi Saw: “Apa saja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka itu adalah halal. Dan apa saja yang Ia haramkan, maka itu adalah haram. Sedang apa yang Ia diamkan, maka itu dibolehkan.” (HR. Tirmidzi no. 1726, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’).

Islam hanya mengharamkan apa yang diharamkan oleh Qur’an dan Hadits. Perkara yang diharamkan tersebut sejatinya jauh lebih sedikit dibanding yang dihalalkan atau didiamkan. Demikian pula halnya dalam budaya. Budaya adalah perkara yang luas. Praktik budaya lokal yang bertentangan dengan Islam jauh lebih sedikit dibanding yang dihalalkan atau didiamkan.

Sehingga ketika ada ajaran Islam yang dianggap bertentangan dengan budaya lokal, maka angkat pula ajaran Islam yang sejalan dengan budaya lokal. Sembari secara bertahap melakukan gerak perubahan, dimulai dari kelompok kecil yang konsisten beramal dan menghasilkan karya.

Di samping itu budaya tidak memiliki akar (ushûl), baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Ijma Sahabat. Karena itu adat atau budaya tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai dalil syariah. Pasalnya, apa pun tidak diakui sebagai dalil syariah, kecuali dinyatakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Lebih dari itu, ‘urf atau budaya adalah perbuatan yang dilakukan terus-menerus. Telah kita pahami bersama bahwa semua perbuatan, apa pun bentuknya harus dilaksanakan berdasarkan syariah Islam. Ini karena setiap Muslim wajib melaksanakan perbuatannya mengikuti perintah dan larangan Allah SWT. Ini artinya syariat Islam yang harus menjadi patokan budaya, bukan sebaliknya. Karena itulah budaya tidak bisa dijadikan dalil maupun kaidah syariah.

Jadi jelas bagaimana posisi budaya dalam pandangan Islam. Terkadang budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat ada yang menyalahi syariat, dan kadangkala tidak. Jika budaya tersebut menyalahi syariah maka syariah datang untuk membersihkan atau mengubahnya. Seperti budaya di masa jahiliyah, membunuh atau mengubur anak perempuan hidup-hidup, padahal Allah melarangnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − eleven =