Kedudukan As-Sunnah

 Kedudukan As-Sunnah

Ilustrasi: Kitab Hadis Sahih Bukhari, Sahih Muslim, dan lainnya.

Maka, seandainya As-Sunnah itu bukan sebagai hujjah bagi kaum muslimin yang wajib diikuti, tentunya tidak mungkin terlaksana semua perintah Al-Qur’an, kewajiban-kewajibannya, dan tidak mungkin pula ditaati semua hukumnya.

Dari As-Sunnahlah kita mengetahui secara rinci pelaksanaannya, waktu-waktu shalat, jumlah rakaatnya, tata cara keterangan ukuran zakat, waktunya, harta-harta yang harus dizakati, penjelasan hukum puasa, manasik haji, penjelasan hukum pernikahan, jual-beli, kriminalitas, dan semua yang disebutkan secara global dalam Al-Qur’an.

Dengan demikian dapat ditetapkan, bahwa apa yang benar datang dari sunnah Rasulullah menjadi hujjah yang wajib diikuti.

Jika Rasulullah wajib diikuti dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul, maka wajib pula mengikuti semua hukum-hukum yang benar darinya, baik yang menerangkan hukum dalam Al-Qur’an seperti yang telah kami sebutkan tadi, ataupun sebagai penetap suatu hukum yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an. Seperti pengharaman menikahi seorang wanita dengan bibinya-baik dari pihak ayah atau ibu-, dan pengharaman semua yang memiliki taring dari binatang buas dan yang memiliki cakar dari burung, dan tidak boleh melakukan qishash terhadap seorang muslim karena membunuh seorang kafir, karena semua ini bersumber pada Nabi yang telah diberikan oleh Allah kewenangan dalam menjelaskan dan mensyariatkan. Allah berfirman,

“Dan tidaklah Kami menurunkan atasmu Al-Kitab kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka yang berselisih didalamnya dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang orang yang beriman.” (An-Nahl: 64).

Kedudukan As-Sunnah dalam Dalil-Dalil Syariat

Kedudukan As-Sunnah dalam dalil-dalil syariat berada di bawah kedudukan Al-Qur’an. Dalil yang menunjukkan itu adalah beberapa hal berikut ini:

Pertama, bahwasanya Al-Qur’an adalah qath’i karena mutawatir, sedangkan As-Sunnah adalah zhanni karena terkadang banyak yang ahad. Yang qath’i didahulukan atas yang zhanni. Oleh karenanya harus mendahulukan Al-Qur’an atas As-Sunnah.

Kedua, bahwa As-Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an, atau sebagai penambah baginya. Jika sebagai penjelas, maka keberadaannya adalah setelah Al-Qur’an. Jika bukan sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, maka ia tidak bisa menjadi landasan kecuali setelah hukum tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Dan ini menjadi dalil atas didahulukannya Al-Qur’an atas As-Sunnah.

Ketiga, adanya akhbar dan atsar yang menunjukkan hal itu, seperti hadits Mu’adz ketika Rasulullah Saw bersabda kepadanya, “Dengan apakah kamu berhukum?” Mu’adz menjawab, “Dengan kitabullah.” Nabi bertanya padanya, “Jika kamu tidak menemukan (dalam Al-Qur’an)?” Dia menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah Saw.” Beliau bersabda, “Jika kamu tidak menemukan-nya?” Dia menjawab, “Aku berijtihad dengan pendapatku.”

Dari Umar bin Al-Khatthab bahwasanya dia menulis kepada Syuraih, “Apabila datang kepadamu suatu perkara, maka putuskanlah dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, dan jika datang kepadamu apa yang tidak ada dalam Kitab Allah, maka putuskanlah dengan apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Saw.” []

Sumber: Syekh Manna’ Al-Aqththan, Pengantar Studi Hadis (terjemah). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 4 =