Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an

 Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an

Ilustrasi: bersikap adil.

4. Tafsir Al-Qurṭubī

Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah yang sangat kuat untuk menegakkan keadilan secara konsisten, baik dalam keadaan senang maupun tertekan. Menurutnya, kata qawwāmīn menunjukkan makna kesungguhan dan kontinuitas, yakni sikap adil yang harus terus dijaga, bukan dilakukan secara sesekali atau bersyarat.

Larangan agar kebencian terhadap suatu kaum tidak mendorong pada ketidakadilan dipahami Al-Qurṭubī sebagai peringatan terhadap kecenderungan manusia yang mudah terpengaruh emosi. Ia menegaskan bahwa keadilan dalam Islam tidak boleh dibangun di atas dasar cinta atau benci, melainkan di atas kebenaran dan ketakwaan. Bahkan, menurut Al-Qurṭubī, ayat ini menjadi dalil bahwa kesaksian terhadap pihak yang dibenci tetap wajib disampaikan secara jujur dan objektif.

Lebih jauh, Al-Qurṭubī menekankan bahwa keadilan merupakan kewajiban syar‘i yang memiliki implikasi hukum dan moral. Ketika seseorang meninggalkan keadilan karena kebencian, maka ia tidak hanya melakukan kesalahan sosial, tetapi juga pelanggaran terhadap perintah Allah. Oleh karena itu, penutup ayat yang menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui segala perbuatan manusia menjadi peringatan bahwa setiap bentuk ketidakadilan akan dimintai pertanggungjawaban.

Ayat ini mengandung tiga pesan penting:

1. Keadilan harus ditegakkan karena Allah, bukan karena kepentingan pribadi.
2. Kebencian tidak boleh menjadi dasar dalam mengambil keputusan.
3. Sikap adil adalah bagian dari ketakwaan, dan menjadi ukuran kualitas iman seseorang.

Sabab Nuzul

Ayat ini diturunkan ketika sekelompok Yahudi di Khaibar berusaha mencelakai Nabi Muhammad SAW saat beliau meminta bantuan pembayaran diyat. Meskipun mereka menunjukkan permusuhan, Allah memerintahkan kaum Muslim tetap bersikap adil. Perintah ini mengajarkan standar akhlak yang sangat tinggi: keadilan tidak boleh dipengaruhi oleh perilaku buruk pihak lain.

Relevansi Ayat di Era Modern

1. Penegakan Hukum yang Objektif

Ayat ini memberikan prinsip dasar bahwa seorang Muslim harus berlaku adil terlepas dari siapa yang dihadapinya. Dalam konteks hukum, pesan ini menuntut aparat penegak hukum—hakim, polisi, atau lembaga peradilan—untuk tidak menjatuhkan keputusan karena tekanan publik, kedekatan relasi, kekuasaan, atau kepentingan politik. Standar keadilan harus dibangun dari nilai ketakwaan, bukan pertimbangan emosional atau keuntungan.

2. Menghadapi Polarisasi di Media Sosial

Di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi, terutama akibat media sosial, ayat ini mengingatkan agar tidak mudah memusuhi kelompok tertentu hingga membuat kita bersikap tidak objektif. Permusuhan, bias kelompok, sentimen golongan, dan stereotip sosial dapat menjerumuskan seseorang pada tindakan tidak adil. Ayat ini menegaskan bahwa kebencian bukan alasan untuk merendahkan atau menzalimi pihak lain, sekalipun pihak tersebut pernah berkonflik atau berbeda pandangan.

3. Toleransi dalam Masyarakat Majemuk

Ayat ini turun dalam konteks hubungan antara kaum Muslim dan kelompok lain seperti Ahli Kitab serta kaum musyrik. Hal ini dapat diterapkan dalam masyarakat multikultural saat ini, di mana umat Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Prinsip keadilan berarti menghormati hak-hak mereka, tidak melakukan diskriminasi, dan memperlakukan mereka dengan standar kemanusiaan yang sama. Keadilan bukan hanya konsep hukum, tetapi juga fondasi toleransi sosial.

4. Prinsip Kepemimpinan yang Lurus

Seorang pemimpin dalam Islam dituntut untuk adil terhadap semua pihak, termasuk mereka yang tidak menyukainya. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan merupakan bagian dari ketakwaan. Dalam praktiknya, pemimpin publik harus mengambil keputusan berdasarkan objektivitas, data, dan kepentingan bersama—bukan karena tekanan politik, nepotisme, atau keuntungan pribadi.

5. Pengelolaan Emosi dalam Hubungan Sehari-hari

Ayat ini juga menyentuh aspek personal. Setiap individu sering kali dihadapkan pada situasi di mana emosi seperti marah, benci, atau kecewa memengaruhi cara mereka memperlakukan orang lain. Mengontrol diri agar tetap adil adalah bentuk ketakwaan yang paling nyata. Sikap ini dapat diterapkan dalam keluarga, hubungan pertemanan, maupun lingkungan kerja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 4 =