Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an

 Keadilan dalam Perspektif Al-Qur’an

Ilustrasi: bersikap adil.

Oleh: Hanifatul Mujahidah*

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Māidah: 8)

SURAH Al-Māidah ayat 8 merupakan salah satu ayat yang menegaskan prinsip dasar keadilan dalam Islam. Ayat ini mengingatkan bahwa kebencian, konflik, maupun perbedaan tidak boleh menjadi alasan untuk berbuat zalim.

Di tengah masyarakat modern yang penuh polarisasi, ayat ini menghadirkan panduan etis agar manusia tetap objektif dan adil dalam setiap situasi.

Penafsiran Ayat

1. Tafsir Ibnu Katsir

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merupakan perintah tegas kepada orang-orang beriman agar selalu menegakkan kebenaran semata-mata karena Allah. Frasa qawwāmīna lillāh menunjukkan keharusan berdiri tegak di atas kebenaran dengan niat yang murni, bukan karena dorongan hawa nafsu, kepentingan pribadi, atau pertimbangan manusia.

Perintah untuk menjadi syuhadā’a bil-qisṭ (saksi dengan adil) menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan dalam segala keadaan. Ibnu Katsir menekankan bahwa keadilan tidak boleh gugur hanya karena adanya kebencian terhadap suatu kaum. Bahkan terhadap musuh sekalipun, seorang Muslim tetap diwajibkan bersikap adil.

Ibnu Katsir juga mengaitkan ayat ini dengan hadis tentang An-Nu‘mān bin Basyir, ketika Rasulullah Saw menolak menjadi saksi atas pemberian yang tidak adil kepada salah satu anak. Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan merupakan prinsip universal yang berlaku dalam seluruh aspek kehidupan, baik publik maupun privat.

2. Tafsir Ath-Ṭabari

Ath-Ṭabari menjelaskan bahwa larangan dalam ayat ini bersifat umum. Kebencian, permusuhan, atau konflik tidak boleh menjadi alasan untuk menyimpang dari keadilan. Menurutnya, makna lā yajrimannakum shana’ānu qawmin adalah jangan sampai rasa benci mendorong seseorang untuk meninggalkan kebenaran dan bersikap zalim.

Ath-Ṭabari menegaskan bahwa perintah i‘dilū (berlaku adillah) merupakan perintah yang berdiri sendiri dan bersifat mutlak. Keadilan diperintahkan bukan karena kondisi tertentu, melainkan karena ia merupakan nilai yang melekat pada ketakwaan.

3. Tafsir Sayyid Qutb (Fi Ẓilāl al-Qur’ān)

Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai fondasi moral bagi pembentukan masyarakat Islam. Menurutnya, keadilan dalam Islam tidak bergantung pada hubungan emosional, kesamaan golongan, atau kepentingan kelompok. Keadilan harus ditegakkan karena kesadaran akan pengawasan Allah.

Ungkapan “huwa aqrabu lit-taqwā” menunjukkan bahwa keadilan adalah jalan terdekat menuju ketakwaan yang hakiki. Tanpa keadilan, klaim ketakwaan seseorang menjadi kosong dan tidak memiliki landasan nyata dalam perilaku sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 1 =