Kasih Sayang Allah dan Jalan Kembali Manusia

 Kasih Sayang Allah dan Jalan Kembali Manusia

Lafaz Allahu Akbar [sumber: FB Inside the Haramain]

Oleh: Hammad Iyad Faiji*

DALAM perjalanan kehidupan, manusia tidak pernah benar-benar lepas dari kesalahan. Sejak awal penciptaannya, manusia telah berhadapan dengan pilihan, godaan, dan kemungkinan untuk tergelincir. Namun Al-Qur’an tidak memotret kesalahan manusia sebagai akhir segalanya, melainkan sebagai bagian dari proses pendidikan ilahi yang mengarahkan manusia untuk kembali.

Gambaran ini tampak jelas dalam QS. Al-Baqarah ayat 37, ayat yang mengisahkan bagaimana Nabi Adam AS dibimbing langsung oleh Allah setelah melakukan kesalahan.

Allah SWT berfirman: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia menerima tobatnya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 37)

Ayat ini muncul setelah Al-Qur’an menjelaskan tergelincirnya Adam akibat godaan setan dan pelanggaran terhadap larangan Allah. Menariknya, Al-Qur’an tidak berhenti pada kisah kesalahan dan hukuman, tetapi justru menekankan fase pemulihan. Adam tidak dibiarkan tenggelam dalam rasa bersalah yang berlarut-larut.

Allah sendiri yang mengambil inisiatif membimbingnya kembali dengan mengajarkan beberapa kalimat sebagai sarana taubat. Dari sini terlihat bahwa taubat bukan sekadar usaha manusia, tetapi juga anugerah dan bimbingan langsung dari Allah.

Para mufassir memberikan perhatian besar pada frasa “فَتَلَقّىٰ آدَمُ مِن رَبِّهِ كَلِمٰتٍ”. Al-Ṭabarī dalam Jāmi‘ al-Bayān menukil riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah doa: “Rabbana ẓalamnā anfusanā wa in lam taghfir lanā wa tarḥamnā lanakūnanna mina al-khāsirīn.”

Riwayat ini menunjukkan bahwa Allah bukan hanya menerima taubat, tetapi juga mengajarkan cara untuk bertaubat. Manusia tidak dibiarkan mencari jalan pulang sendirian; Allah sendiri yang menunjukkan jalannya.

Setelah Adam mengucapkan kalimat tersebut, Allah berfirman “فَتَابَ عَلَيْهِ”, yang menunjukkan bahwa Allah menerima taubatnya. Ibn Kathīr menjelaskan bahwa penerimaan taubat ini merupakan wujud kasih sayang Allah yang mendahului hukuman-Nya.

Taubat dalam ayat ini tidak sekadar berarti penghapusan dosa, tetapi juga pemulihan hubungan antara hamba dan Tuhannya. Adam tidak hanya diampuni, tetapi juga dipulihkan secara spiritual.

Penegasan sifat Allah sebagai “التَّوَّابُ الرَّحِيمُ” semakin memperkuat makna ini. Al-Qurṭubī menafsirkan bahwa sifat al-Tawwāb menunjukkan Allah menerima taubat hamba-Nya berkali-kali tanpa rasa bosan. Sementara sifat al-Raḥīm menegaskan bahwa ampunan Allah selalu disertai kasih sayang yang mendalam.

Ayat ini menjadi dasar teologis bahwa pintu taubat selalu terbuka, bahkan bagi mereka yang terjatuh dalam kesalahan besar. Allah lebih mencintai hamba yang kembali dengan kerendahan hati daripada hamba yang merasa dirinya bersih dari dosa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 + seven =