#KaburAjaDulu, Kala Realitas Menghantam Ekspektasi Generasi

 #KaburAjaDulu, Kala Realitas Menghantam Ekspektasi Generasi

TAGAR #KaburAjaDulu masih ramai menghiasi lini masa jejaring sosial, khususnya X dan Instagram hingga hari ini. Tagar ini mencerminkan keresahan generasi muda terhadap realitas ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia. Tagar ini seolah menjadi wadah keluhan bagi warganet yang tengah menghadapi sejumlah kebijakan terbaru pemerintah.

Tagar yang awal kemunculannya hanya sebagai ruang diskusi konstruktif bagi pengguna jejaring sosial untuk berbagi tips mendapat pekerjaan di luar negeri, perkiraan gaji, informasi beasiswa, dan tantangan beradaptasi dengan budaya di negeri asing, secara drastis bergeser menjadi manifestasi kekecewaan kolektif publik terhadap kondisi dalam negeri. Tagar #KaburAjaDulu pun berubah menjadi gelombang kritik terhadap jurang ketidaksejahteraan yang kian lebar di Indonesia.

Brain Drain

Mirisnya, tidak hanya sekadar tren, tagar ini pun mengungkapkan gelombang besar pesimisme generasi muda bangsa yang berujung pada keinginan anak bangsa untuk meninggalkan Tanah Air dan berpindah ke luar negeri demi masa depan yang lebih cerah. Alhasil, tagar #KaburAjaDulu ini pun makin lekat dengan fenomena brain drain, yaitu suatu kondisi ketika para talenta terampil di Indonesia memilih pindah ke negara lain, bahkan sampai berpindah kewarganegaraan, karena demi mendapatkan standar hidup, pendidikan, dan pekerjaan yang lebih baik di luar negeri.

Fenomena brain drain ini menjadi isu krusial yang sering kali terjadi di negara berkembang. Arus ini makin menguat dan makin memperlebar kesenjangan antara negara berkembang dan negara maju di era globalisasi saat ini. Sehingga menciptakan ketidakadilan dalam mengakses sumber daya dan peluang.

Tagar #KaburAjaDulu dan fenomena brain drain sejatinya mencerminkan kegagalan kebijakan politik ekonomi dalam negeri dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Ini tentu tidak terlepas dari sistem yang diadopsi oleh penguasa untuk mengatur negara. Jika ditelaah, corak kapitalistik sangat kental mewarnai kepemimpinan penguasa negeri ini. Sehingga berbagai kebijakan yang dibuat dan dilegalkan kerap mendukung kepentingan para pemilik modal.

Sebutlah dalam sektor pendidikan, dalam naungan kapitalisme, sektor ini menjadi sasaran empuk bagi liberalisasi. Pendidikan seolah menjadi barang legal yang sah dikomersilkan oleh asing atau swasta. Sehingga hanya orang yang kaya saja yang mampu mengakses pendidikan yang berkualitas.

Dalam naungan kapitalisme, penyedia lapangan pekerjaan justru berada di tangan industri atau perusahaan. Para korporasi ini jelas berprinsip untung dan rugi. Tidak heran, jika para pekerja pun dipandang sebagai faktor produksi yang sewaktu-waktu dapat terkena efisiensi. Sehingga pekerja tidak mendapat jaminan gaji yang layak dan pekerjaan yang tetap. Para pekerja ini pun terus dihantui PHK massal, gaji yang rendah, dan isu perburuhan lainnya.

Inilah yang membuat kesenjangan ekonomi tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga di tingkat dunia antara negara maju dan berkembang. Kesenjangan ini pun kian hari kian menganga. Menghantam ekspektasi generasi akan jaminan kesejahteraan di negeri sendiri yang makin tak tergapai.

#KaburAjaDulu dan fenomena brain drain niscaya tidak akan muncul di tengah generasi muda bangsa ini andai menjadikan Islam sebagai fondasi dan pilar dalam mengatur negara. Paradigma Islam memandang menjadi kewajiban negara untuk membangun kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan asasi setiap rakyat. Kewajiban ini menjadi tuntutan sebagaimana termaktub dalam hadis Baginda Rasulullah Saw, “Iman adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Bukhari).

Menurut Imam Al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, makna ar-raa’in dalam hadis tersebut adalah pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada pada dirinya, sedangkan ar-ri’ayah bermakna memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan. Salah satu bentuk dari pengurusan ini adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat dan melindungi kepentingannya.

Dari paradigma inilah menjadi tanggung jawab negara menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat, apalagi terdapat syariat bagi laki-laki Muslim yang balig wajib untuk mencari nafkah. Syariat ini mendapat dukungan dari negara dalam bentuk lapangan kerja.

Dalam naungan sistem Islam, negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Dalam sektor ekonomi riil misalnya akan ada bidang industri, jasa, perdagangan, dan pertanian. Belum lagi, dalam tata kelola sumber daya alam yang dikelola oleh negara niscaya akan membutuhkan tenaga ahli dan terampil dalam jumlah yang banyak. Syariat Islam juga mengatur tentang tanah ‘iqtha (pemberian tanah milik negara kepada rakyat), ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), dan sejenisnya. Adanya jaminan lapangan pekerjaan inilah yang membuat rakyat tidak berniat dan harus kabur ke negara lain hanya demi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Di sisi lain, pendidikan sebagai aspek vital bagi generasi tentu mendapat perhatian penting dari negara. Islam jelas memiliki strategi pendidikan yang mumpuni untuk melahirkan generasi terbaiknya. Sebagai kebutuhan dasar publik, menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang layak dan berkualitas bagi rakyatnya secara mutlak. Pendidikan ini pun dapat diakses secara mudah dan murah bahkan gratis.

Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak generasi yang berkepribadian islami, yakni pribadi-pribadi yang memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) berdasarkan Islam. Generasi berilmu yang memiliki kepekaan terhadap al-qadhiyah al-mashiriyah (problematika utama umat). Sehingga kaum cerdik pandai dan berbakat menjadi garda terdepan dalam membangun negara. Sebaliknya, negara pun peduli dan menjamin kesejahteraan hidup mereka.

Inilah solusi Islam dalam mencegah generasi untuk jangan #KaburAjaDulu. Solusi yang niscaya mengantarkan generasi muda bangsa pada kesejahteraan yang diharapkan. Sungguh kontras dengan realitas yang menimpa generasi muda saat ini yang tidak hanya membuat kecewa, tetapi juga mengantarkan generasi ke jurang keputusasaan. Wallahu’Alam bissawab.*

Jannatu Naflah, Praktisi Pendidikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × two =