Isilah Jabatan Publik dengan Orang Saleh

Ilustrasi
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” [Q.S. Yusuf/12: 54-55]
Raja raja dalam Al-Qur’an
Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menceritakan kisah para raja dan penguasa. Sebagian kisah tersebut menceritakan sisi negatif para raja dan penguasa -diantara mereka- misalnya Fir’aun raja Mesir dan Namrud raja Babilonia, Irak. Kisah raja-raja Mesir dikisahkan dengan kisah yang negatif karena diantara mereka ada yang dengan tegas membangkang dan melakukan provokasi pembangkangan secara terbuka kepada Nabi/Rasul yang diutus kepada mereka (Fir’aun pada masa Nabi Musa).
Begitu pula Namrud raja Babilonia, Irak, yang kisahnya dikisahkan Allah dalam beberapa surat Al-Qur’an. Saking marahnya ia ketika Nabi Ibrahim yang mematahkan keyakinan paganis mereka yang sesat, maka ia memerintahkan orang-orang untuk melemparkan Ibrahim ke dalam api dan membakarnya hidup-hidup.
Namun begitu pun, tidak semua raja yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah raja-raja lalim yang bengis. Sulaiman misalnya, putra dari Daud ini digambarkan Allah dengan sifat awwab, yaitu sangat taat, gemar bertaubat dan sangat rajin beribadah kepada Tuhannya. Allah berfirman:
وَوَهَبْنَا لِدَاوُدَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
“Dan Kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” [Q.S. Shad/38: 30]
Selain Sulaiman bin Daud, ada pula raja saleh lainnya, yaitu Zulkarnain. Allah Ta’ala menceritakan bahwa Zulkarnain telah dikaruniakan kekuasaan yang kuat (tamkin) di muka bumi. Sebagaimana firman Allah:
إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الأرْضِ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepadanya di (muka) bumi.” [Q.S. Al-Kahfi/18: 84]
Semua kisah tentang raja-raja saleh itu memberikan pelajaran penting bagi kita, sekalipun jabatan dan kekuasaan dapat merubah orang baik menjadi sombong dan lalim, namun tetap ada kemungkin, jabatan dan kekuasaan dipegang orang baik nan saleh dan jabatan itu dapat merubah sesuatu yang tidak dapat dirubah dakwah. Jabatan, pengaruh dan ‘kekuatan’ dapat merubah tatanan masyarakat yang menuju kehancuran moral berbalik arah menjadi masyarakat madani nan islami. Buktinya, Sulaiman yang berkuasa di sekitaran Baitul Maqdis dan Zulkarnain yang Allah anugerahkan kekuasaan di muka bumi. Keduanya dapat memberikan maslahat kepada masyarakat dan merubah kondisi masyarakatnya kepada kehidupan islami.
Apalagi, dalam Al-Qur’an, kisah para Nabi dan Rasul dijadikan model teladan, diantaranya kisah Yusuf yang berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” [Q.S. Yusuf/12: 55] Melalui ayat ini kita mendapatkan pelajaran penting, bahwa berupaya mendapatkan jabatan tidaklah tercela secara mutlak, bahkan ‘merebutnya’ dalam kasus tertentu adalah wajib atau paling tidak mustahab atau sunnah.
Raja raja Disebutkan dalam Bentuk Buruk
Ketika Allah menceritakan raja-raja yang saleh, maka ketahuilah, mayoritas ayat Al-Qur’an menyoroti para penguasa, pembesar kaum, pemilik harta, bahkan tokoh masyarakat, dengan nada negatif. Fir’aun misalnya. Tiran Mesir itu disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 74 kali. Dalam surat Thaha ayat 24 dan 43, Fir’aun digambarkan sebagai orang yang “Thagha”.
Kata “Thagha” sendiri adalah ungkapan yang menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang memiliki sifat tiranik, yakni sikap yang selalu ingin memaksakan kehendak kepada orang lain -layaknya Tuhan yang punya kelebihan untuk memaksa- tanpa memberi peluang kepada orang itu untuk melakukan pertimbangan bebas. Imam Ibnu Katsir menuliskan dalam Qashash Al-Anbiyaa’, Firaun memiliki sifat angkuh, sombong, congkak, arogan, hanyut dalam duniawi, dan menolak untuk taat kepada Allah.
Dalam ayat yang lain, Allah menerangkan sebab kehancuran sebuah negeri adalah ketika orang kaya pemilik modal, tokoh masyarakat pembesar kaum, berbuat kerusakan dan mencoreng moral. Maka kalau sudah begitu, wajar kemudian Allah menimpakan hukuman berupa azab yang merata, yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim secara khusus, namun juga merata menimpa orang-orang saleh juga. Jika orang-orang yang dijadikan tokoh dan tauladan malah aktif berbuat kerusakan, maka sudah tidak ada lagi alasan bagi Allah tidak menyegerakan hukumannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” [Q.S. Al-Isra’/17: 16]
Allah kalau hendak membinasakan suatu negeri maka kerusakan di negeri itu pasti dimotori oleh orang-orang besar (muth-raf) yang harusnya menjadi teladan, malah menjadi orang terdepan melakukan kerusakan. Kalau saja orang-orang besarnya berani melangkah berbuat kerusakan, maka rakyat jelata akan mengikutinya bahkan dapat berbuat lebih buruk lagi, seperti kata pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Kalau sudah begitu, kerusakan itu pasti merata karena menjadi etos kebiasaan masyarakat. Seperti kebiasaan korupsi/sogok dalam pentas politik Indonesia hari ini, para pemilik modal mampu berbuat sewenang-wenang mempengaruhi kebijakan pemerintah dan sanggup ‘menghasut’ pemerintah untuk merampas tanah rakyat dengan dalih investasi dan kebijakan prioritas nasional.
Yusuf Meminta Jabatan
Berbeda dengan kisah para raja yang telah kita sebutkan tadi, Yusuf ketika di Mesir mendapatkan karunia menjadi bendahara kerajaan, kemungkinan seperti atau setingkat menteri keuangan hari ini. Hal ini bermula dari kertertarikan raja tersebut dengan pribadi Yusuf yang dinilai amanah dan memiliki kemampuan untuk dilibatkan dalam pembangunan Mesir.
Ketika ditawarkan kepada Yusuf untuk menjadi orang dekat raja, Yusuf justru melihat lebih mashlahat jika ia dijadikan bendahara, karena Yusuf adalah orang yang amanah lagi dapat dipercaya dan memiliki ilmu dan kemampuan di bidang itu. Allah Ta’ala menceritakan dialog tersebut:
وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ (54) قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata, “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” [Q.S. Yusuf/12: 54-55]
Mungkin banyak yang akan mempertanyakan sikap Yusuf ini. Mengapa beliau justru minta jabatan kepada raja? Padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pernah melarang memberikan jabatan kepada orang yang meminta jabatan. Diriwayatkan dari Abu Mūsā Al-Asya’ārí, ia berkata, “Saya menemui Rasulullah bersama dua putra pamanku. Salah seorang dari mereka berkata”:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah, angkat kami sebagai pemimpin atas sebagian daerah yang Allah Azza wa Jalla telah kuasakan kepadamu.” Berkata pula yang lain dengan perkataan yang sama. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pun menjawab:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya kami ini, demi Allah, tidak akan menguasakan jabatan kepada seseorang yang memintanya, dan tidak pula kepada orang yang berambisi terhadapnya.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Mari kita telaah bersama. Surat Yusuf ini, kalau kita telaah, mulai dari kisah Yusuf di waktu kecil dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, Yusuf ketika remaja di Mesir sebagai budak dan tahanan, lalu Yusuf ketika dewasa dan menjadi salah satu pembesar Mesir; kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika Yusuf meminta jabatan sebagai bendaharawan, Yusuf tahu bahwa ia mampu menyandang jabatan tersebut dan keberadaan Yusuf dalam memegang jabatan itu akan mendatangkan maslahat dan manfaat untuk Islam dan kaum muslimin secara khusus dan masyarakat Mesir secara umum.
Kesimpulannya, Yusuf yakin bahwa apabila ia memegang jabatan tersebut, hal itu akan memberikan dampak maslahah atau kebaikan secara luas, daripada ia di luar kekuasaan dan hanya bisa menjadi oposan pengeritik raja dan kebijakannya.
Jabatan Hanya untuk Orang yang Amanah dan Memiliki Kemampuan
Perkataan Yusuf bahwa beliau adalah orang yang Hafizh dan Àlim mengindikasikan bahwa beliau pantas dan pas untuk menjabatan sebagai bendahara. Hafizh dan Àlim adalah dasar yang harus dipertimbangkan untuk menjabat jabatan dan hal ini senada dengan apa yang disampaikan putri Syu’aib as, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” [Q.S. Al-Qasshash/28: 56]
Berdasarkan ayat ini, mari fokuskan pada kata Al-Quwwah/Al-Qawí & Al-Amãnah/Al-Amin.
Kedua kata ini sebenarnya adalah bentuk lain dari kata Àlim dan Hafizh. Mengutip pandangan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Siyasah Syar’iyyah, yang dimaksud Al-Quwwah/Al-Qawi (secara harfiah bermakna kekuatan) adalah kecakepan atau kemampuan seseorang pemimpin pada bidang yang ia pimpin. Contohnya panglima perang, beliau harus memiliki keberanian dan kecakepan dalam berperang yakni mengetahui strategi perang. Tanpa keduanya, ia tidak mampu memimpin pasukannya.
Point kedua adalah Al-Amãnah/Al-Amin atau Àlim-Îlmu. Adapun yang dimaksud dengan amanah dan alim adalah pemimpin selain memiliki kemampuan juga memiliki khãsy-yatullah atau memiliki sifat dan rasa takut kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia.
Kesimpulan ini beliau ambil dari firman Allah dalam Q.S. Al-Mãidah ayat 44, “Janganlah kalian takut kepada manusia, takutlah kepadaKu; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”
Dua kata ini Àlim- Al-Qawí dan Hafizh-Al-Amãnah (Q.S. Yusuf/12: 54-55 & Q.S. Al-Qasshash/28: 56) dengan tegas menyatakan syarat seorang pemimpin ada dua, alim-kuat dan hafiz-amanah. Makna ilmu dan kuat adalah kecakepan dan kemampuan. Sedangkan hafiz dan daat menjaga amanah dan dasarnya adalah khãsy-yatullah – takut kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia.
Kesimpulan
Sejatinya, meminta jabatan itu adalah akhlak yang buruk dan sifat yang dicela. Namun jika hal tersebut adalah masalahat maka boleh dilakukan bahkan mustahab/sunnah. Khususnya di saat jabatan dan kekuasaan dikuasai oleh orang-orang yang tidak amanah dan tidak memiliki kemampuan. Terkait dengan jabatan di runag publik, Yusuf adalah teladan yang nyata, jelas dan tegas terkait sikap seorang muslim yang memiliki kesempatan merubah ruang publik melalui jalur kekuasaan.
Melalui kekuasaan, seorang muslim yang soleh dan komit kepada agama mampu merubah apa yang tidak dapat dirubah melalui mimbar ceramah dan nasehat-nasehat para ulama. Jika ruang publik itu hanya dapat direbut dengan mekanisme yang berlaku, maka rebutlah ia dan jangan biarkan ia dikuasai oleh orang yang tidak bertanggungjawab.
M. Reza Prima Matondang M.E
Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah