Inilah Perempuan-Perempuan yang Haram Dinikahi, ‘Mantan Ibu Mertua’ Termasuk?

Ilustrasi
As-Syafi’i berpendapat: Tidak menyebabkan haramnya perkawinan. Sebab perbuatan haram itu tidak dapat mengharamkan yang halal. Ini juga pendapat Laits, Zuhri dan Madzhab Malik dalam Muwaththa’.
Imam Syafi’i sendiri berkata dalam al-Umm: “Jika seseorang laki-laki berzina dengan istri ayahnya (ibu tiri), atau dengan ibu istrinya (mertua), maka dia durhaka kepada Allah, tetapi istrinya sendiri itu tidak menjadi haram atasnya, juga atas ayah dan anaknya. Sebab Allah mengharamkan (sesuatu) dengan menghormat yang halal itu adalah untuk meninggikan halalnya itu serta menambah nikmatnya apa yang dibolehkannya, di samping untuk menetapkan hukum haram yang belum terjadi sebelumnya. Dan dengan itu Allah mewajibkan beberapa kewajiban. Sedang haram tidak sama dengan halal”.
Menurut Syekh Ali As-Shabuni, dalam hal ini pendapat Syafi’iyah yang dinilainya paling kuat karena kekutan dalilnya.
Jika Terjadi Perceraian Apakah Masih Mahram?
Di masyarakat ada istilah “mantan mertua” atau “mantan menantu”. Sebenarnya kedua istilah itu tidak tepat. Sebab, baik istrinya anak (menantu) maupun ibunya istri (mertua) termasuk mahram karena semenda. Sehingga mereka selamanya menjadi mahram.
Allah SWT berfirman, “Diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibu istri kalian (mertua),” (QS. An-Nisa’: 23).
Seperti dijelaskan di atas, bahwa ibunya istri (mertua) itu menjadi haram semata-mata karena sudah ada akad nikah dengan anaknya.
Secara garis besar, para ulama membagi mahram dalam dua bagian:
1. Mahram sementara atau temporer (muaqqat), yaitu mereka yang haram dinikahi karena kondisi atau alasan tertentu, jika kondisi/alasan itu hilang maka statusnya menjadi boleh dinikahi.
Di antaranya adalah perempuan yang telah ditalak tiga, perempuan yang pernah di-li’an suaminya (sumpah laknat di hadapan hakim karena tuduhan zina atau tidak diakuinya anak yang dikandung), perempuan beristri, perempuan yang dalam masa iddah, perempuan bukan ahli kitab, saudara perempuan dari istri, bibi (jalur ayah atau ibu) dari istri (mengumpulkan dua saudara atau dua mahram), istri yang ke lima (lebih dari empat istri), dan wanita pezina hingga ia bertaubat.