Ini yang Harus Dihindari Wanita Iddah karena Ditinggal Wafat Suami
WANITA yang ditinggal wafat suaminya memiliki masa iddah. Iddah adalah waktu tertentu untuk menanti pernikahan yang baru menurut agama. Menurut bahasa, iddah berarti menghitung sesuatu. Sementara itu, menurut para ulama dengan mazhab Hanafi, iddah sebuah kata untuk batasan waktu dan ungkapan untuk menunjukkan apa yang masih tersisa dari bekas nikah.
Menjalani masa iddah ini merupakan hal yang wajib. Selama masa iddah tersebut, seorang wanita harus menghindari berbagai hal. Apa saja yang harus dihindari? KH Bachtiar Nasir dalam laman Bachtiarnasir.com menyampaikan larangan-larang tersebut. Berikut penjelasannya.
Sesuai dengan konsep cerai dalam Islam, suami yang menceraikan istrinya tidak serta merta dipisahkan dari istrinya selama masih dalam talak raj’i (talak pertama dan kedua). Islam masih memberikan waktu bagi suami untuk berfikir, apakah memang talak itu yang menjadi jalan terakhir yang mau diambilnya atau ia mau kembali kepada istrinya. Begitu juga seorang istri yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya memerlukan waktu untuk mengetahui dan memastikan bahwa ia sedang tidak hamil sebelum kawin dengan orang lain. Waktu menunggu inilah yang disebut dengan masa iddah. Dan menjalani masa iddah ini merupakan suatu kewajiban bagi setiap istri yang diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, kecuali yang diceraikan sebelum melakukan hubungan suami istri.
Pada dasarnya iddah itu dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya.
Adapun untuk wanita yang ditinggal mati oleh suaminya maka masa iddahnya yaitu empat bulan sepuluh hari. Itu dilakukan dengan tidak keluar dari rumah yang mereka tempati berdua kecuali karena memang ada keperluan dan keadaan yang memaksa seperti membeli keperluannya sehari-hari atau untuk berobat ke rumah sakit, sesuai dengan firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. al-Baqarah [2]: 234).
Diriwayatkan dalam hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عَجْرَةَ ، أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَخْبَرَتْهَا ، أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ ، فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا ، حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي ، فَإِنِّي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ وَلَا نَفَقَةٍ ، قَالَتْ : فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” نَعَمْ ” ، قَالَتْ : فَخَرَجْتُ ، حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ ، دَعَانِي أَوْ أَمَرَ بِي ، فَدُعِيتُ لَهُ ، فَقَالَ : ” كَيْفَ قُلْتِ ؟ ” فَرَدَدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي ، قَالَتْ : فَقَالَ : ” امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ” ، قَالَتْ : فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Zainab binti Ka’ab bin ‘Ajrah bahwa Al-Furai’ah binti Malik bin Sinan yang merupakan saudari Abu Sa’id Al Kudri menceritakan kepadanya bahwa bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW. meminta izin kepada beliau untuk kembali kepada keluarganya di antara Bani Khudrah, karena suaminya keluar mencari beberapa budaknya yang melarikan diri hingga setelah mereka berada di Tharaf Al Qadum ia bertemu dengan mereka lalu mereka membunuhnya. Dia berkata, “Maka aku meminta izin kepada Rasulullah SAW. untuk kembali kepada keluargaku, karena ia (suami) tidak meninggalkan rumah dan harta untukku.” Maka Rasulullah berkata, “Iya silakan”. Lalu ia berkata, “Kemudian aku keluar hingga setelah sampai di sebuah ruangan atau di masjid, beliau memanggilku dan memerintahkan agar aku datang. Kemudian beliau berkata: “Apa yang tadi engkau katakan?” Kemudian aku kembali menyebutkan kisah yang telah saya sebutkan, mengenai keadaan suamiku. Maka beliau bersabda, “Tinggallah di rumahmu hingga selesai masa ‘iddahmu.” Ia berkata, “Maka aku ber’iddah di tempat tersebut selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, al-Nasa`i, Ahmad dan Hakim).
Kecuali bagi wanita yang sedang hamil maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan bayi yang ada dalam kandungannya sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. al-Thalaq [65]: 4).
Kemudian, seorang istri yang ditinggal mati suaminya wajib berihdad yaitu berkabung selama masa iddah tersebut dengan menghindari segala akitfitas yang dikatagorikan sebagai berhias. Seperti memakai perhiasan, memakai celak, memakai parfum atau wangi-wangian dan memakai pakaian yang berwarna-warni yang biasa dipakai untuk mempercantik diri dan membuat diri lebih menarik. Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan:
عن أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , يَقُولُ : لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Dari Ummu Habibah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk berkabung atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali atas suami, maka dia berkabung atasnya selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ ، قَالَتْ : ” كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ، وَلَا نَكْتَحِلَ وَلَا نَتَطَيَّبَ وَلَا نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا ، وَقَدْ رُخِّصَ لِلْمَرْأَةِ فِي طُهْرِهَا إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ قُسْطٍ وَأَظْفَارٍ
Dari Ummu ‘Athiyyah ra. Ia berkata, “Kami dilarang berkabung atas kematian di atas tiga hari kecuali atas kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu dia tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai wewangian, tidak boleh memakai pakaian yang dicelupkan (berwarna). Dan diberi keringanan bagi perempuan bila hendak mandi seusai haid untuk menggunakan sebatang kayu wangi dan azhfar (sejenjis wangi-wangian yang biasa digunakan wanita untuk membersihkan bekas haidhnya).” (HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لَا تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ ، وَلَا الْمُمَشَّقَةَ ، وَلا الْحُلِيَّ ، وَلَا تَخْتَضِبُ ، وَلَا تَكْتَحِلُ
Ummu Salamah istri Nabi SAW. meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh memakai pakaian yang berwarna-warni, tidak memakai perhiasan, tidak mengecat kukunya dengan pacar (inai) dan tidak mencelak matanya.” (HR. Abu Daud, Ahmad, al-Nasa`i dan Baihaqi).
Selama masa iddah ini, wanita haram dilamar secara terang-terangan, diberi janji untuk dinikahi, apalagi menjalankan Akad nikah, yang dibolehkan hanyalah dilamar secara sindirian. Setelah menjelaskan masa iddah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُم بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنتُمْ فِي أَنفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّـهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَـٰكِن لَّا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَن تَقُولُوا قَوْلًا مَّعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّـهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. al-Baqarah [2]: 235).
Itulah yang wajib dilakukan oleh seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, tidak keluar dari rumah yang ditempati bersama suami kecuali karena ada keperluan atau hal yang mendesak. Kemudian berihdad yaitu berkabung dengan menghindari segala akitfitas yang dikatagorikan sebagai berhias. Wallahu a’lam bish shawab.*
