Imam Asy-Syafi’i, Ulama Terkemuka Pionir Ilmu Ushul Fiqh
Ilustrasi
Imam Asy-Syafi’i pernah menyatakan, “Setiap orang yang berbicara berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, itulah ketentuan yang wajib diikuti. Sedangkan selain itu adalah kebingungan.”
la juga pernah mengatakan, “Apabila kalian mendapati kitabku mengandung sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah, maka berpendapatiah sesuai dengan Sunnah Rasulullah, dan tinggalkanlah pendapatku.”
la juga berkata, “Dan apabila suatu hadits itu shahih maka itu adalah mazhabku. Apabila suatu hadits itu shahih maka benturkanlah pendapatku ke tembok.”
lapun penah mengungkapkan, “Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan memikulku apabila aku meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah Saw, lantas aku tidak berpendapat sesuai dengannya?”
Lantaran berprinsip mengikuti hadits dan bertindak sesuai Sunnah, Imam Asy-Syafi’i terdorong untuk meninjau ulang banyak pendapatnya setelah ia tinggal di Mesir. Dari penduduk Mesir, ia banyak mendengarkan hadits Rasulullah Saw.
Dengan demikian, madzhab Imam Asy-Syafi’i terdiri atas dua pendapat, yaitu pendapat lama (Qaul Qadim) yang dikemukakannya sewaktu tinggal di Irak hingga tahun 198 H, dan pendapat baru (Qaul Jadid) yang dipaparkannya ketika ia tinggal di Mesir, hingga wafat pada 204 H.
Dalam akidah, Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah adalah salah seorang ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah, salah seorang pemukanya sekaligus Ikonnya. Dengan tegas dan segera, ia membantah kelompok bid’ah dan zindig (atheis), terutama kelompok Mu ‘tazilah dan Jahmiyah. Adalah Imam Asy-Syafi’i orang yang paling keras terhadap mereka. Itulah sebabnya semasa Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i masih hidup, orang-orang sesat tersebut tidak berani menampakkan batang hidung mereka.
Imam Asy-Syafi’i dengan tegas melarang para sahabatnya berpartisipasi dalam pembicaraan bersama kelompok penyeru bid’ah. la juga melarang shalat sebagai makmum pengikut Rafidhah, Murji’ ah, Madariyah, dan Mu’tazilah. Secara gamblang ia memfatwakan bahwa orang yang berpendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk adalah kafir.
Mengenai ibadah dan akhlak Imam Asy-Syafi’i, betapapun sibuknya la membidangi ilmu syariat, pengajaran, dan penelaahan, serta pernah menyatakan bahwa membaca hadits lebih baik daripada shalat sunat, dan menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunat, Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ahli ibadah yang rabbani lagi zahid. Ia sangat memprioritaskan kondisi jiwanya dan kehidupan akhiratnya. Dunia tidak mendapatkan porsi di dalam dirinya.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata mengenai Imam Asy-Syafi’i, “Asy-Syafi’i membagi malam menjadi tiga bagian, sepertiga untuk menulis sepertiga untuk shalat, dan sepertiga untuk tidur.” Apabila suatu ayat Al-Qur’an tentang siksaan atau hadits tentang peringatan melintas dalam pikirannya, niscaya ia terjatuh lemas saking lembut hatinya”.
