Ijazah dalam Tradisi Pendidikan Islam

 Ijazah dalam Tradisi Pendidikan Islam

Ilustrasi

Pakar ilmuan kedokteran pada abad keempat hijrah Sinan bin Tsabit memberikan ijazah bagi setiap orang yang ingin bekerja sebagai dokter. Tentu setelah memberikan ujian yang diambil sebagai bukti kekuatan dalam bidangnya tersebut yang dikehendaki dalam pekerjaan di bidang itu.

Begitu pula badan sekolah Ad-Dakhrawiyah di Damaskus yang telah memberikan ijazah, Muhadzabudin Ad-Dakharawi, kepada alamah Alauddin bin Nafis. Sesudah diberikan ijazah ini, ia dapat bekerja di sebuah rumah sakit besar di masa itu. Yaitu rumah sakit An-Nuri di Damaskus.

Bahkan, imam Ar-Razi mengatakan dalam salah satu kitabnya Al-Hawi, “Seorang dokter harus lebih dulu memberikan ijazah kedokteran dalam penjelasan awal. Jika tidak diketahui, maka kami tidak butuh kepada Anda untuk memberikan wewenangnya mengobati orang sakit.”

Ijazah bagi kalangan pembesar ulama adalah simbol kebanggaan murid, yang akan selalu diingatnya sepanjang hayat. Ilmuwan Al-Qalqasyandi diberikan ijazah yang didapatnya dari Al-Alamah pada masanya, Sirajuddin bin Al Mulaqqan di bidang fikih Madzhab Syafi’i. Ia mendapatkan izin mengajarkan kitab karangannya Al-Mausu’i (Shabhul Asya) sebagai bentuk kecintaan dan kebanggaannya terhadap ijazah tersebut.

Di antara isi Ijazah tersebut adalah, “Telah meminta pilihan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tuan dan syekh kami dengan keberkahan kami hamba yang fakir kepada Allah Ta’ala Imam Al-Alamah tinta kepahaman yang tiada duanya, dari saya/tulisan tangannya, sebaik-baik ulama, salah seorang termulia, tiang penyanggah fuqaha dan kebaikan, Sirajuddin mufti Islam dan kaum Muslimin Abu Hafsh Umar…Telah memberikan izin dan ijazah kepada si fulan yang disebutkan namanya di sini (Al-Qalqasyandi)-semoga Allah mengekalkan ketinggiannya yang telah belajar madzhab imam Al-Mujatahid Mutlak alim Rabban Abu Abdullah Muhammad bin Idris Al-Muthalibi Asy-Syafi’i dan menjadikan surga yang dimasuki sebagai balasannya. Dia telah membaca sesuatu dari kitab yang ditulis di madzhab tersebut. Supaya dengan itu, dapat dimanfaatkan oleh para muridnya sehingga dapat digunakan sebagaimana semestinya, kapan saja, dimana saja. Dia juga berhak memberikan fatwa, baik tulisan maupun lisan sesuai kapasitas madzhabnya yang mulia sebagai penyebaran ilmunya dengan agama dan penuh amanat, pengetahuannya dan keahliannya, kepakarannya tentang masalah itu dan kecukupan kapasitasnya…”

Dari sini, kita mengetahui bahwa ijazah merupakan kebiasaan terdahulu peradaban Islam yang tiada duanya dalam lintas perjalanan kemanusiaan. Hal ini baru ditemukan pada kuliah dan universitas Eropa lebih dari sepuluh abad kemudian. Ini menunjukkan kebesaran peradaban Islam dan pengaruhnya terhadap aturan modern. Untuk seterusnya ijazah ini diberlakukan oleh seluruh umat dunia sampai saat ini.[]

Disadur dari buku “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” (terjemah) karya Prof. Dr. Raghib As-Sirjani. (Jakarta: Pusataka Al-Kautsar, 2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + 16 =