Idulfitri di Hari yang Sama, Mungkinkah?

 Idulfitri di Hari yang Sama, Mungkinkah?

KH Muhammad Abbas Aula

Menjawab pertanyaan topik di atas, bagi umat Islam di Indonesia harus bersabar menunggu hasil sidang itsbat Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag).

Tradisi tahunan Sidang Itsbat yang menghadirkan ormas-ormas Islam, lembaga dakwah dan para pakar di bidang astronomi, ilmu hisab falakiyah, baru akan digelar pada 29 Ramadhan tepatnya Kamis, 20 April 2023 mendatang.

Jika hilal tidak terpantau pada malam itu di seluruh wilayah Nusantara, maka Ramadhan tahun ini akan digenapkan menjadi 30 hari. Meskipun hilal tanggal 1 Syawal malam itu sudah terlihat di wilayah lain misalnya di Australia, Thailand dan negara-negara Arab di Timur Tengah.

Hal ini karena umat Islam di Indonesia umumnya menganut paham rukyat lokal dan bukan rukyat global.

Teori tentang rukyat global dan rukyat lokal, telah dibahas tuntas oleh para ulama fiqh sejak akhir abad pertama hijrah hingga abad 3-4 H. Ketika itu terjadi dialog antara Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dengan Kuraib, (dikenal dengan Hadits Kuraib)

Dialog saat itu tentang Tauhidur Ru’yah, yakni penyatuan rukyat antara umat Islam di kawasan Suriah, Yordania, Palestina dan Libanon yang dahulu dikenal dengan Wilayah Syam. Dan umat Islam di kawasan Hijaz khususnya kota Madinah.

Diakhir dialog, Kuraib mengajukan pertanyaan singkat: Mengapa kita tidak cukupkan mengikuti rukyat Muawiyah dan shaumnya penduduk Syam? Jawab Ibnu Abbas:

هكذا أمرنا رسول الله صلي الله عليه و سلم

Demikianlah perintah Rasulullah kepada kita. (HR. Muslim No. 1087, Abu Daud No. 2332, Turmudzi No. 693)

Perintah Rasulullah saw tersebut berbunyi:

صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته فإن اغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين

Puasalah kamu karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan. Jika hari mendung sehingga bulan tidak terlihat maka genapkanlah bulan menjadi 30 hari. (HR. Muslim No. 1080, Bukhari No. 1909)

Istinbath hukum dari dialog ini, melahirkan dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menetapkan bahwa masing-masing negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, (disebut Rukyat Lokal). Dan pendapat kedua mengatakan bila bulan sudah terlihat di suatu negeri, maka hasil rukyat di negeri tersebut berlaku untuk seluruh negeri Islam (disebut Rukyat Global).

Pendapat pertama tampaknya belakangan ini berkembang menjadi pendapat permanen. Bahwa tidak mungkin umat Islam sedunia mengawali puasa Ramadhan pada hari yang sama. Dan tidak mungkin pula berhari raya (Idulfitri) pada hari yang sama. Perbedaan Rukyat Hilal tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan mathla‘ atau perbedaan tempat terbit bulan.

Dan perbedaan mathla’ adalah sunnatullah fil kaun, hukum Allah dalam ciptaan alam raya, yang tidak mungkin berubah.

Sebaliknya pendapat yang kedua optimis dan dengan tegas menyatakan, sangat mungkin untuk menyatukan awal Ramadhan dan Hari Raya (Idulfitri). Pendapat yang kedua ini adalah pendapat Jumhur Ulama, yakni pendapat mayoritas Ulama Imam Madzhab.

Al-‘Allamah Syeikh Abdurrahman al-Jazairi, menuturkan bahwa Jumhur Ulama Ahli Fiqh berpendapat: Apabila bulan sudah terlihat di suatu negeri dan berita telah menyebar sampai ke negeri yang lain, wajib shaum bagi seluruh negeri tersebut tanpa membedakan jarak dekat dan jauh.

Menurut pendapat ini perbedaan mathla‘, mutlak tidak menjadi patokan, tidak menjadi alasan dan pertimbangan. Pendapat ini dianut oleh tiga Imam Madzhab Fiqh, Hanafi, Maliki, dan Hambali. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,1/446)

Imam Syafi’i Rahimahullah, berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama. Dengan dasar hasil dialog Ibnu Abbas dan Kuraib dalam hadits Shahih Muslim No. 1087 di atas, Imam Syafii menegaskan bahwa: masing-masing negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri.

Dalam alam kebebasan berpendapat seperti sekarang, suara terbanyak atau suara mayoritas bisa memaksakan kehendak walaupun suara mayoritas hanya berjumlah separuh lebih satu.

Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama berabad-abad umat Islam sedunia tak terkecuali, termasuk pengikut tiga Imam Madzhab yakni Hanafi, Maliki dan Hambali juga sama mengikuti pendapat Madzhab Syafii.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × three =