Hilangnya Naluri Keibuan

Ilustrasi
ENTAH… Dimana sosok ibu seperti Bunda Khadijah binti Khuwalid pendamping Rasulullah Saw yang melahirkan generasi aleh dan salehah yaitu Fatimah ra, penghulu wanita di surga.
Dimana sosok wanita salehah seperti Laila Ummu Ashim yang darinya lahir keturunan tercatat sebagai salah satu khalifah terbaik yaitu Umar bin Abdul Aziz.
Dimana sosok visioner seperti Fathimah binti Ubaidillah yang darinya terlahir ulama besar Imam Syafi’i.
Sungguh langka, sedikit jumlahnya. Itulah realita yang ada hari ini.
Banyak dari muslimah saat ini yang hilang naluri keibuannya. Seakan tak ada gambaran bahwa anak adalah anugrah yang Allah titipkan untuk dipelihara dan dididik sebaik-baiknya. Anak yang nanti akan menjadi _qurrota a’yun_ di dunia dan penyelamat di akhirat kelak. Merekalah yang nantinya akan menjadi pemimpin dan pembangun peradaban agung, Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Saat ini, potret buram ibu yang nampak. Lihat saja, berita yang ada. Dikutip dari metro.tempo.co (16/08) ditangkap seorang ibu yang tega menjual bayinya yang baru lahir seharga Rp20 juta di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Bulan Februari lalu di Jakarta Barat juga ada penangkapan perdagangan gelap yang menjual lima bayi dan terancam hukuman 10 tahun penjara (antaranews.com, 23/02/2024). Pada bulan April ada kasus penangkapan oleh Satreskim Polresta Malang yang membongkar sindikat penjualan bayi di facebook dengan harga Rp18 juta (radarsurabaya.jawapos.com,18/04/2024).
Hampir semua menyatakan alasan tak manusiawi yang mereka lakukan karena himpitan ekonomi.
Merasa sendiri, tersebab tak ada sistem pendukung (supporting system) berupa keberadaan suami yang menjadi tulang punggung keluarga, maupun kerabat yang menjaga dan negara yang membuka lapangan kerja hingga rakyat bisa memenuhi kebutuhan dengan murah dan mudah. Alhasil, himpitan ekonomi kehidupan seringkali mematikan naluri keibuan. Memaksa ibu kehilang akal sehatnya, demi menyambung tali kehidupan. Tega menjual bahkan membunuh darah dagingnya sendiri. Sungguh tragedi kemanusiaan ini bukan hanya masalah individual semata, tetapi masalah struktural yang mendalam.
Negara yang saat ini menerapkan sistem politik ekonomi kapitalisme menjadikan para penguasa lepas tangan mengurusi rakyat. Sibuk mencari kekuasaan, memperkaya diri, keluarga dan para korporasi. Bagaimana tidak, yang ada rakyat terus tercekik. Jangankan mengurus bayi. Mengurus perut saja tak bisa dipenuhi. Buah dari penerapan sistem yang membuat kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi. Akses pendidikan, kesehatan, transportasi semakin sulit dijangkau. Terasa berat hidup ini.
Diperparah dengan sistem pendidikan sekuler hari ini, yang gagal membentuk pribadi yang beriman dan bertakwa. Negara saat ini malah sibuk membentuk generasi Pancasila yang jauh dari nilai-nilai Islam. Alhasil, output pendidikan melahirkan generasi materialisme dan mengejar popularitas, tanpa memikirkan halal haram dan jauh dari bayang hari penghisaban.
Islam sebagai agama dan sistem aturan yang sempurna telah menetapkan peran negara sebagai raa’in, yaitu pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas mewujudkna kesejahteraan. Kesejahteraan tak akan mungkin dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis hari ini. Hanya sistem ekonomi Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui berbagai mekanisme kepemilikan, sumber pemasukan dan pengeluaran yang diatur oleh syariat, mata uang yang stabil dan pengelolaan sumber daya alam yang sesuai aturan pencipta.
Dalam Islam, negara harus menjamin tersedianya lapangan pekerjaan bagi para suami dengan penggajian yang adil. Menjaga kehormatan para ibu dan mengarahkan fitrahnya dengan baik. Negara harus memperhatikan gizi para bayi, menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan terbaik. Pendidikan yang akan membentuk kepribadian Islam. Negara juga harusa memastikan media berperan sebagai mendukung terbentuknya keimanan. Dan hanya dengan penerapan Islam kafah akan mewujudkan optimalnya fungsi keluarga.
Tinta emas itu telah terukir dalam sejaha. Sebagaimana kekhilafahan pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang memikul sekarung gandung demi tanggung jawabnya memastikan tidak ada keluarga yang kelaparan dalam kepemimpinannya. Juga penerapan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan pada masa kepemimpinan Kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz. Dari dana zakat yang dikelola dengan baik banyak pasangan muda yang ditanggung biaya menikah dan dilunasi hutang-hutangnya. Tidakkah mendampakan masa itu? Wallahu a’lam bisshawab. []
Muthiah Raihana, Ibu dan pengajar di Andalusia Kids.