Hijab dan Paradoksa Ruang Publik
Oleh:
Dr. M. Irfan Hidayatullah, M. Hum.*
KEBIJAKAN BPIP yang melarang para Paskibraka puteri mengenakan jilbab pada upacara pengukuhan sampai upacara hari kemerdekaan RI betul-betul di luar nalar kebangsaan. Lebih dari itu, alasan ketua BPIP tentang penyeragaman dan hubungannya dengan kebhinekaan Indonesia betul-betul menjadi produk komedi tahun ini. Kebhinekaan dan keseragaman bukankah dua hal yang bertolak belakang? Untuk menjaga kebhinekaan harus diseragamkan? Ini sebentuk komedi getir (Dark Jokes) tahun ini.
Entah ada mitos apa di belakang kebijakan pandir ini? Jika dibaca memakai teori Semiotika Roland Barthes, bisa jadi di balik semua ini ada sesuatu yang tersembunyi rapi yang kemudian (akan) diabaikan masyarakat. Bisa jadi kebodohan yang dipertontonkan oleh BPIP (yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari pemerintah) dilakukan untuk membungkus rapi strategi “pintar” politik dalam negeri dalam berbagai sisi. Kebodohan yang menutupi kepintaran (baca keculasan) sehingga semua perbincangan publik tersedot ke sana dan melonggar di titik krusial politik bangsa.
Banyak juga pembacaan lain secara semiotika mitos. Di antaranya, ingin menunjukkan bahwa umat Islam hanya bisa reaktif terhadap kebijakan dan tidak punya andil dalam membuat kebijakan. Ini semacam propaganda terselubung terhadap betapa lemahnya umat yang secara digit mayoritas di Indonesia. Tentu saja, setelah diprotes, akan dengan mudah diubah aturannya, tetapi kenyataan bahwa kebijakan tidak berada di pihak dan berpihak pada pemeluk agama mayoritas tetap eksis. Selain itu, hal ini melengkapi kenyataan politis bahwa partai-partai Islam tidak memiliki pengaruh signifikan dan bahkan bisa diatur untuk kepentingan politis pemerintah. Kita bisa hubungkan dengan kasus perkembangan PPP, PKB, dan sekarang PKS di DKJ.
Itu hanya sebagian dari cara baca orang jauh seperti saya. Sebagai pengajar Ilmu Sastra yang dekat dengan teori makna dan tanda, acap kali hal ini begitu transfaran terlihat. Belum lagi saat dihubungkan dengan ruang publik global yang berkaitan dengan identitas Islam dan Muslim di dunia yang terus diliyankan. Tidak usah berbicara jauh-jauh tentang genosida di Gaza atau penjajahan terhadap Palestina, kita bicara tentang Olimpiade Paris 2024 saja yang tuan rumahnya melarang timnya memakai hijab. Selain itu, ada beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim yang melarang hijab juga pada ruang-ruang publik. Terakhir yang ramai dibicarakan adalah Tajikistan (Republika.co.id/ 25 Juni 2024). Hanya saja, ruang publik, menurut saya memiliki paradoksnya tersendiri.
Salah satu paradoks yang melawan secara diskursif terhadap kebijakan tuan rumah Olimpiade 2024 adalah adanya para atlet yang memakai hijab, termasuk dari Indonesia. Lebih dari itu paradoks yang paling menampar adalah menangnya Sifan Hasan dari Belanda pada cabang paling bergengsi di Olimpiade, yaitu maraton putri pada Ahad. 11 Agustus 2024. Ia tampil tercepat dengan waktu 2 jam, 22 menit dan 55 detik. Capaian waktu ini memecahkan rekor maraton putri sebelumnya.
Ini tidak hanya tentang Sifan Hassan yang merupakan imigran asal Ethiopia yang lahir pada 1993 dengan segudang prestasi dalam bidang lari, tetapi tentang bagaimana seorang gadis berhijab ditonton dunia. Bila saja ditonton dunia melalui berbagai media itu tanpa kontestasi wacana, ini juga hal biasa.
Namun, kali ini Sifan Hassan sedang “melawan” wacana kebijakan pemerintah Prancis sebagai tuan rumah olimpiade terhadap kontingen mereka. Pada titik ini, kontestasi terjadi. Kontestasi yang dimenangkan oleh seorang Sifan yang berkomentar lugu atas kemenangannya:
“Saya merasa seperti sedang bermimpi. Saya hanya melihat orang-orang di televisi yang merupakan juara Olimpiade.
Maraton adalah sesuatu yang lain, Anda tahu. Ketika Anda menempuh 42 kilometer dalam lebih dari dua jam 20 menit, maka setiap langkah Anda merasa sangat sulit dan sangat menyakitkan.” (Tempo.co. 15 Agustus 2024)
Selain Sifan ruang publik hiburan juga menyiratkan makna mendalam dengan banyaknya artis dunia yang berpindah agama dan memakai hijab. Setelah era Sinead o Connor, sekarang ada penyanyi asal Amerika yang berhijab dan melantunkan ayat suci Al Quran di media sosialnya. Orang itu adalah Jennifer Grout yang populer di Tiktok dengan puluhan akun yang mengatasnamakan dirinya dan mengirim ulang tayangan dia yang sedang beresitasi Al Quran saking populernya.
Selain mereka, kita bisa melihat bagaimana hijab di Indonesia menuju ruang tengah publik dengan adanya Fatin Sidqia Lubis (juara X Factor) sampai Salma Salsabila (Juara Indonesia Idol 2023).
Bila ruang publik adalah sebuah panggung, maka hijab and the stage adalah tema yang menarik untuk dibicarakan.
Melalui fenomena Pos-Islamisme (meminjam istilah Asef Bayat) ini, saya mencoba membaca ulang kebijakan BPIP sebagai sesuatu yang melawan arus ruang publik. Bila kebijakan pemerintah dilakukan dengan tangan kekuasaan, pergerakan simbol hijab pada ruang publik dilakukan melalui pergerakan senyap atau silent movement. Pada titik inilah terjadi paradoksa ruang publik terhadap fenomena jilbab atau hijab. Wallahu’alam.
*Pengajar pada Departemen Sastra dan Kajian Budaya Universitas Padjadjaran. Selain itu, Irfan aktif di komunitas Forum Lngkar Pena (FLP) sebagai anggota Dewan Pertimbangan. Sebelumnya pernah menjadi ketua umum FLP (2005-2009).
