Hancurnya Mental Generasi di Bawah Cengkeraman Sekulerisme

 Hancurnya Mental Generasi di Bawah Cengkeraman Sekulerisme

Ilustrasi: remaja. [foto: probonoaustralia.com.au]

GANGGUAN MENTAL menjadi marak diidap oleh remaja. Wakil Menteri Kementrian Kependudukan Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka mengatakan bahwa generasi muda saat ini sedang menghadapi tantangan yang semakin kompleks, salah satunya adalah isu kesehatan mental di kalangan remaja.

Kementrian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa 15,5 juta atau setara 34,9 persen dari total remaja di Indonesia menderita kesehatan mental.

Remaja Terkena Mental

Kesehatan mental merupakan salah satu problem yang menyasar generasi. Banyak di kalangan remaja ini memamerkannya di media sosial seolah-olah bangga dengan kondisi yang dianggap tren. Tidak kalah memprihatinkan, banyak di antara mereka melakukan diagnosis sendiri dan menyimpulkan bahwa mereka mengalami gangguan mental.

Ditambah, angka bunuh diri di kalangan remaja terus meningkat, dengan depresi sebagai faktor utama. Selain itu, kenakalan dan tindakan kriminal di kalangan remaja juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan mental, seperti kecanduan narkoba, seks bebas, perundungan, serta tawuran, begal dan geng motor.

Semua permasalahan tersebut berawal dari upaya mereka untuk melarikan diri dari masalah mental yang dialami. Bukannya menjadi pribadi yang berguna bagi dri sendiri mereka justru menjadi beban. Fenomena ini terlihat pada generasi Z yang sering disebut sebagai “generasi stroberi” karena kondisi mental mereka yang rapuh, sehingga banyak di antara mereka dikenal sebagai “generasi penyakit mental”.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya mental illness di kalangan remaja, di antaranya yaitu yang pertama, faktor keluarga. Keluarga seharusnya menjadi tempat ternyaman bagi anggota keluarga dan menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Pada kenyatannya justru fungsi rumah yang seharusnya menjadi langka. Seorang ibu yang seharusnya memberikan limpahan kasih sayang dan menjadi guru pertama bagi anak-anaknya justru malah sibuk di luar rumah membantu ekonomi keluarga. Kemudian peran ayah yang dikerdilkan sebatas mencari nafkah. Padahal peran ayah seharusnya hadir menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Kemudian ditambah lagi dengan komunikasi yang buruk antar ayah dan ibu serta dangkalnya agama, dapat menghantarkan mereka kepada perceraian. Hal itu semua dapat memicu sebagai pintu menuju terganggunya mental anak.

Kedua, faktor sekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat terbaik dalam membangun kepribadian, malah menjadi tempat perundungan. Korban perundungan sangat rentan terkena gangguan mental. Ditambah dengan sekulerisme yang saat ini telah mencengkram sistem pendidikan. Sistem ini terbukti telah menjauhkan anak-anak dari agamanya. Belum lagi, jam pelajaran agama yang hanya sedikit, begitu pula dengan program moderasi yang terus ditancapkan.

Semua ini dapat membuyarkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Jika generasi sudah tidak mengenal agamanya, jangan heran jika individu-individu menjelma menjadi sosok yang labil dan tidak mengenal jati diri. Mereka tidak memahami tujuan hidupnya. Perjuangan yang mereka kejar pun menjadi samar dan ini menjadikan seseorang rentan terkena gangguan mental.

Ketiga, faktor sosial. Kapitalisme telah merusak tatanan sosial dengan mendorong gaya hidup bebas yang membuat manusia bertindak sesuka hati atas nama kebahagiaan dan HAM. Konsep kebahagiaan hanya diukur dari kepuasan fisik semata serta kebebasan berekspresi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini justru berpotensi memicu gangguan mental seperti bipolar disorder. Belum lagi, kemajuan teknologi informasi yang berakar dari peradaban kapitalisme juga turut berperan dalam meningkatkan gangguan mental, bahkan banyak remaja kini kehilangan kepedulian terhadap lingkungan sekitar akibat kecanduan gawai yang memicu antisosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − four =