Dr. Taha Hussain, Idola para Cendekiawan Mesir

 Dr. Taha Hussain, Idola para Cendekiawan Mesir

Dr. Taha Hussain, cendekiawan sekuler Mesir.

Dalam bukunya itu, Taha Hussain tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melemparkan cemoohan kepada seluruh pemikir, fuqaha, dan ulama pada periode-periode awal sejarah Islam, karena mereka dianggap “melakukan pengkhianatan terang-terangan” dengan jalan “memalsukan” Al-Qur’an dan “merekayasa” al-Hadits. Tidak cukup dengan itu semua, Taha Hussain menganggap bahwa Musa as tidak pernah hidup di dunia, sedangkan cerita-cerita dalam Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan mitologi semata.

“Taurat memang menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, demikian pula Al-Qur’an. Tetapi, penyebutan nama-nama mereka dalam Taurat dan Al-Qur’an tidak cukup kuat untuk membuktikan keberadaan mereka dalam lintasan sejarah. Apalagi kisah kedatangan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim, ke Makkah dan menjadi nenak moyang bangsa Arab di daerah tersebut. Kita melihat bahwa dalam kisah tersebut terdapat sepenggal kisah fiksi untuk sekadar menunjukkan hubungan Bani Israil dan Arab pada satu sisi dengan Islam dan Yahudi pada sisi yang lain.”

Buku Taha Hussain yang lain, yang sangat berpengaruh semasa hidupnya adalah “The Future of Culture in Egypt.” Diterbitkan pada 1938, buku tersebut mempunyai misi untuk memperkenalkan budaya Mesir sebagai bagian dari Eropa, serta membuat suatu rancangan program pendidikan umum berlandaskan kebudayaan tersebut.

Taha Hussain mengawali tulisannya dengan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah Mesir merupakan bagian dari dunia Timur atau dunia Barat? Kita dapat menguraikan pertanyaan itu sebagai berikut, “Apakah orang Mesir lebih mudah memahami orang China atau orang Hindu daripada memahami orang Inggris atau orang Prancis? Inilah pertanyaan yang mesti kita jawab sebelum memikirkan akar kebudayaan kita.”

Selanjutnya, Taha Hussain menjelaskan bahwa sejak awal telah ada dua macam peradaban yang sangat berbeda dan sangat bertolak-belakang satu dengan yang lain. Yang satu di Eropa dan satunya lagi ada di Timur Jauh. Benar-benar sebuah simplifikasi sejarah yang berlebihan! Sejak dahulu kala, tidak pernah ada peradaban tunggal di Eropa. Demikian pula di Timur Jauh. Budaya Hindu di India dan Konghucu di Cina sama sekali berbeda, sebagaimana peradaban bangsa-bangsa Eropa pada Abad Pertengahan.

Hanya karena masa lalu Mesir yang punya kaitan erat dengan Yunani, dan tidak pernah menjalin hubungan dengan Timur Jauh, Taha Hussain berpendapat bahwa, “Mesir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Eropa, karena secara intelektual dan budaya mereka saling berhubungan dalam segala bentuk dan pada setiap cabangnya.”

Cendekiawan terkemuka itu mengabaikan fakta bahwa sepanjang perjalanan sejarahnya, hanya sekali periode saja Mesir menjadi satu dengan Eropa, yaitu pada saat zaman Hellenistik di bawah kepemimpinan Iskandar Yang Agung.

Taha Hussain bersikeras bahwa pengadopsian Islam dan bahasa Arab tidak membuat Mesir menjadi lebih “bersifat ketimuran” daripada bangsa Eropa yang orang-orangnya memeluk agama Nasrani.

“Mana mungkin orang-orang yang berakal sehat berpendapat bahwa tidak ada ruginya bagi orang-orang Eropa yang menganut Injil untuk menganggap Al-Qur’an sebagai sesuatu yang murni berasal dari Timur, sekalipun dinyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan hanya untuk memberikan klarifikasi dan penyempurnaan terhadap Injil? Mereka harus menjelaskan perbedaan konsep-konsep Kristen dan Islam, mengingat keduanya berasal dari sumber yang sama. Esensi Islam sama dengan esensi Kristen. Hubungan antara Islam dan filsafat Yunani sama persis dengan kaitan antara Kristen dan filsafat tersebut. Kemudian darimana datangnya perbedaan pandangan kedua agama ini mengenai penciptaan pemikiran kalau tidak berasal dari filsafat Yunani? Kenapa hubungan erat antara Eropa dengan kebudayaan Yunani semasa Renaissance dipandang sebagai penopang pemikiran orang-orang Eropa, sedangkan kaitan antara filsafat Yunani dan Islam tidak bisa diterima? Mampukah kita melestarikan keberadaan konsep-konsep yang berlainan milik orang-orang yang tinggal di pantai Utara dan Selatan Laut Tengah?”

Benarkah demikian? Bayangkanlah, betapa cendekiawan paling terkemuka di Mesir ini tidak mengakui perbedaan sejarah antara Kristen dan Islam! Besar kemungkinan antusiasme cendekiawan ini dilatarbelakangi keinginannya untuk membuktikan bahwa Islam tidak menghalangi terobosan-terobosan westernisasi yang terjadi di negerinya, sehingga tanpa ragu ia menyimpangkan fakta-fakta sejarah untuk mendukung tujuan-tujuannya.

“Kami bangsa Mesir mengukur kemajuan yang kami capai semata-mata dari sejauh mana kami mengadopsi konsep-konsep Barat. Kami belajar dari Eropa bagaimana caranya meraih kemajuan. Orang-orang Eropa telah mengajari kami bagaimana duduk di meja dan makan dengan sendok dan garpu, bagaimana tidur di tempat tidur, serta bagaimana berpakaian ala Barat. Kami tidak mengatur pemerintahan dengan panduan sistem Khilafah. Namun kami menetapkan hukum-hukum nasional dan peradilan sekular sebagaimana bangsa-bangsa Barat, bukannya aturan dan undang-undang Islam. Fakta yang dominan dan tak terbantahkan adalah bahwa dari hari ke hari kami semakin dekat dengan Eropa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam makna harfiah maupun kiasan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − one =