Carilah yang Cinta karena-Nya

 Carilah yang Cinta karena-Nya

Oleh:

Dr. Maimon Herawati, S.Sos., M.Litt

PETISI RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, petisi Blackpink, dan petisi lainnya mengajari saya bahwa kekuatan politik gerakan Islam masih kurang. Kurang banyak suara yang membawanya, kurang kuat kekuatan lobinya. Dengan demikian, kekuatan gerakan Islam harus dibantu dengan gerakan massa di akar rumput seperti petisi.

Berbicara hampir satu windu ke belakang, 212 adalah efek dari kekuatan politik gerakan Islam yang belum sekuat yang diharapkan. Rakyat yang ingin Islam dihormati kemudian turun ke jalan. Fenomenal. Mencengangkan. Namun juga di sisi lain, memerihkan. Bagaimana mungkin di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, rakyat turun dengan jumlah fantastis seperti itu untuk menuntut dihormatinya agama Islam. Ada sesuatu yang salah di sini.

Saya mendampingi petani-petani yang terpuruk karena penjualan hasil tani tidak menutup modal pertanian. Pada saat yang sama terdengar kabar kran impor dibuka untuk hasil tani yang sama. Ini logikanya apa? Kenapa impor dilakukan saat petani hendak memasarkan hasil kerja keras mereka sekian bulan? Bagaimana mungkin petani negara ini dikompetisikan dengan petani luar negeri? Siapa yang akan menanggung beban besar jika modal mereka tidak kembali dan mereka terjerat hutang? Kehidupan makin buruk hingga bencana sosial meledak?

Realita di atas menyadarkan bahwa perlu lebih banyak orang dalam pusaran kekuasaan yang bekerja dengan menjadikan rakyat sebagai pusat konsiderannya.

Pertanyaannya selanjutnya, ada apa dengan yang saat ini memegang kuasa kebijakan? Bisa jadi karena dakwah belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Dakwah belum menyebar sebaik dan seluas yang diharapkan. Bisa juga karena ada gerakan tidak menyukai kebangkitan Islam yang berusaha mengadu domba sesama Muslim di negara mayoritas Muslim.

Apapun itu, keduanya bermuara pada perlunya lebih banyak aktivis gerakan Islam masuk ke dalam pusaran kekuasaan. Bukan untuk larut dan tenggelam di dalamnya, namun untuk menjadi pengarah arus hingga gerak kekuasaan memusar dengan Islam sebagai pusatnya. Perlu aktivis dengan kekuatan fikrah seperti Umar, keshalihan Abu Bakar, kekuatan funding seperti Utsman, kelincahan pemuda Ali, dan kezuhudan Abu Ubaidah bin Jarrah.

Aktivis yang bergerak menuju pusat kekuasaan dengan Islam sebagai obornya, sebagai penerangnya. Mereka memiliki cita-cita luhur dan mulia bahwa keberadaan mereka di sana adalah untuk menegakkan Islam. Mereka akan duduk dalam rapat-rapat penggodokan undang-undang, memelototi pasal demi pasal, memastikan bahwa tidak ada potensi keburukan bagi muslim dan syariat Islam di sana. Mereka menggunakan wewenang dan fasilitas yang ada dalam genggamannya untuk menyebarkan kebaikan seluasnya. Mereka akan mengajari rakyat tentang pelaksanaan Islam yang ramah, bersahabat, namun tegas pada kemungkaran.

Mereka ada di sekitar kita. Mereka yang terdepan membela warga tak mampu. Ah, betapa banyak pasien peserta KIS yang mereka antar ke rumah sakit menggunakan mobil pribadi. Mereka hadir dan bergerak di wilayah bencana. Aktif dalam politik, namun tak bercerai dari masyarakat. Mereka bersama dengan jamaah pada salat-salat wajib di masjid. Mereka biasanya juga guru agama bagi orang sekitarnya.

Orang-orang seperti ini bekerja dengan cinta Allah hingga seperti tidak pernah lelah. Yang selalu mereka cari adalah rida Allah semata sehingga pengorbanan yang mereka lakukan nampak di luar logika. Bagi yang tidak biasa melihatnya cenderung akan bertanya, ini serius atau sekedar pencitraan. Serius tidur di rumah warga? Serius makan nasi yang dimasak bersama warga di wilayah bencana? Tidur dalam tenda? Serius ikut menguburkan korban bencana sekian hari?

Sejauh pengamatan saya, iya mereka serius mencari rida Allah. Mereka muncul dari orang-orang yang sudah sejak lama bersama rakyat. Ketika memegang kekuasaan, yang pertama mereka lakukan adalah mendatangi rakyat, menyapa mereka, menyerap aspirasi rakyat secara luas. Mereka berkeinginan kekuasaan yang di tangan benar-benar memudahkan kehidupan rakyat.

Pekan ini kita harus menentukan pilihan. Jika ingin lebih banyak yang membawa suara umat ke pusat; jika ingin aturan Islam dihormati; jika ingin rakyat yang menjadi konsideran perjuangan, maka pastikan tidak salah memilih. Carilah yang bekerja dengan cinta. Carilah yang sudah lama bersama kita. Mereka bergerak dengan cinta dan bukan uang. Oleh karena itu, biasanya yang mereka sebar adalah perhatian tulus, bukan fulus. Jangan salah. Menemani dengan perhatian, bukan menyebarkan fulus menjelang pemilihan.

Pilihan kita akan berpengaruh lima tahun ke depan. Lima detik di bilik suara akan menentukan arah lima tahun negara. Maka, waspada dan cermat lah. Akan banyak yang mengatakan, ah sama saja. Semua sama busuknya; sama bejadnya. Menjelang pencoblosan ini, semua tersenyum dan merayu. Namun, begitu di puncak, mereka lupa yang di bawah.

Tidak demikian bagi pencari cinta Sang Maha Cinta. Bukalah lembaran ingatan, carilah siapa yang selalu bersama. Mereka sudah ada sejak dahulu dan tetap ada nanti. Lihatlah, tidak terpilih saja mereka tetap bersama. Apalagi nanti, saat bekerjanya menjadi wakil kita.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 − 5 =