Bolehkah Seorang Istri Menuntut Cerai?
Ilustrasi
PERTANYAAN di atas barangkali sering kita dengar. Karena dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang keretakan diakibatkan oleh perbuatan suami.
Jika seorang suami mempunyai hak untuk menceraikan istrinya yang telah melanggar tata kehidupan rumah tangga Islami, bukan tidak mungkin seorang istri pun mendapatkan hak yang sama bila suaminya bertindak di luar ketentuan syariat.
Oleh syariat Islam, seorang istri diberi kesempatan untuk menuntut perceraian kepada suaminya bila mengalami keadaan seperti: menyakitinya, kelelakiannya sudah tidak dapat berfungsi, tidak mampu memberikan nafkah , dan ditinggalkan terlalu lama.
Seorang istri yang mengalami hal-hal di atas berhak mengajukan tuntutan perceraian kepada hakim. Tentu saja pengaduannya itu harus disertai dengan fakta yang benar dan jelas. Sang hakim secara cermat dan bijaksana menelaah kebenaran pengaduannya. Mula-mula diupayakan jalan perdamaian dan menganjurkan agar mereka bersatu kembali. Namun bila upaya perdamian mengalami jalan buntu dan pengaduannya itu benar, perceraian terpaksa harus dilakukan. Dan apabila pengaduannya tidak mengandung kebenaran, maka pengaduan sang istri tersebut tidak perlu dilayani.
Selain itu, terdapat cara lain lagi bagi seorang istri yang hendak mengajukan perceraian. Cara itu disebut dengan khulu’.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, khulu’ adalah perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafal talak maupun dengan lafal khulu’. Contohnya, suami mengatakan pada istrinya, “Saya talak engkau atau saya khuluk engkau dengan membayar ganti rugi kepada saya sebesar…,” lalu istri menerimanya.
Seorang istri yang menempuh cara ini harus mengembalikan harta kekayaan dan mahar yang diberikan suaminya. Dalam mengambalikan harta suaminya, boleh diadakan tawar menawar antara keduanya. Boleh dikembalikan seluruhnya ataupun sebagian saja.
Yang menjadi dasar dipergunakannya khulu’ adalah firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229).
