Bolehkah Menghina Pendukung Capres yang Berbeda Pilihan?

 Bolehkah Menghina Pendukung Capres yang Berbeda Pilihan?

Oleh:

Ahmad Zuhdi || Mahasiswa doktoral Universitas Islam Jakarta

INDONESIA merupakan negara besar dan luas dengan kekayaan alam (natural resources) yang melimpah. Tak dapat dipungkiri, Indonesia menjadi target bagi negara-negara yang ingin menguasai sumber daya alam di bumi pertiwi. Mencermati tantangan tersebut, ditambah dengan kompleksitas masalah global, nasional, dan regional, dibutuhkan pemimpin yang kuat (strong leadership), bukan pemimpin yang lemah dan tidak mempunyai gagasan.

Maka untuk menguji gagasan tersebut, debat antar kandidat capres-cawapres dalam rangkaian pemilu merupakan prasayarat sebelum pemilu digelar. Debat menjadi sarana masyarakat untuk mengetahui gagasan, roadmap, dan terobosan-terobosan yang akan dilakukan para kandidat jika mendapatkan amanah menahkodai bangsa Indonesia. Debat juga menjadi edukasi untuk memantapkan preferensi masyarakat dalam menentukan pilihannya.

Hanya saja, debat yang awalnya bertujuan mencerdaskan dan mencerahkan, seringkali tercederai oleh narasi-narasi yang bernada sentimen, tendensius bahkan sarkasme. Fenomena ini juga terus berlanjut di luar ruang debat, termasuk di media sosial. Media sosial akhirnya dipenuhi oleh cacian, hujatan, dan cemoohan antar para pendukung paslon. Lebih parah lagi, hal ini berujung permusuhan sesama muslim karena saling melontarkan kalimat-kalimat yang dapat merusak keharmonisan.

Padahal Allah SWT telah memberikan panduan dalam surat Al-Hujurat ayat 11 agar setiap mukmin memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang berujung terhadap retaknya ukhuwah Islamiyah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Berdasarkan ayat tersebut, penghinaan merupakan salah satu sebab yang menimbulkan pertikaian, maka Allah melarang orang-orang beriman menghina orang lain, karena bisa jadi orang yang dihina lebih baik daripada orang yang menghina. Maka bagaimana cara seorang muslim menyikapi perbedaan sudut pandang dari debat yang dilakukan antar paslon?

Pertama, tentu dengan verifikasi. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk melakukan verifikasi (tabayyun) terhadap sesuatu informasi yang belum dipastikan jelas kebenarannya. Misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat enam, kemudian dalam An-Nisa ayat 94, dan lain-lain.

Kedua, menilai sesuatu dengan kacamata ilmu. Bukan dengan kebencian, kedengkian apalagi sampai memprovokasi orang untuk ikut membenci, mencela, dan menjatuhkan kehormatan seseorang. Cukup firman Allah sebagai berikut menjadi pedoman untuk mengukur sesuatu berdasarkan ilmu.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isra: 36).

Ketiga, yaitu adil. Jangan sampai karena kebencian terhadap suatu individu, kelompok atau golongan menyebabkan kita berlaku tidak adil. Maka Islam sangat menganjurkan penganutnya untuk berbuat adil kepada siapapun, baik kepada kerabat, orang jauh bahkan musuh sekalipun. Sebab perbuatan adil lebih dekat kepada takwa. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 8:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Keempat, yaitu asas manfaat. Jika informasi yang kita dapatkan bernilai manfaat dan memberikan maslahat, maka dapat disampaikan kembali kepada orang lain. Namun jika informasi tersebut tidak membawa manfaat bahkan dapat berujung mafsadat, maka cukup menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi tersebut.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengingatkan kepada kita untuk menjadi orang yang bermanfaat, bukan orang yang ditakuti atau disegani. Khairunnas anfa’uhum lin-naas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. (HR Thabrani).*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + five =