Berani dalam Kebenaran

 Berani dalam Kebenaran

Ilustrasi

PARA ulama di masa lalu, adalah orang-orang yang berani dalam menyampaikan kebenaran, beramar ma’ruf nahi munkar dan melakukan muhasabah kepada penguasa. Mereka mengatakan yang benar adalah benar dan salah adalah salah. Sikap mereka dalam hal ini sangatlah mengagumkan.

Kepada Sultan Najmuddin Ayyu,  penguasa Mesir, di sebuah acara yang dihadiri oleh para pejabatnya, ulama besar Al-‘lzz bin Abdussalam mengatakan, “Wahai Ayyub, apa alasanmu di depan Allah ketika besok kamu ditanya, “Apakah Aku menjadikanmu raja Mesir kemudian memperbolehkanmu meminum arak?”

Ayyub bertanya, “Apakah hal itu terjadi?”

Al-‘Izz menjawab, “Ya, sebuah bar milik fulanah menjual minuman keras dan memperbolehkan melakukan kemungkaran di dalamnya, dan kamu bergelimang kenikmatan sebagai raja?”

Kemudian Ayyub berkata, “Aku tidak memberikannya izin. Izin itu diberikan oleh ayahku ketika ia menjawab sebagai penguasa.”

Al-‘Izz bin Abdussalam berkata, “Kamu termasuk orang yang mengatakan, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 23)

Atas hal ini, kemudian Sultan Ayyub membekukan dan menutup bar tersebut.

Salmah bin Dinar yang dikenal dengan Abu Hazim masuk menemui Mu’awiyah dan mengatakan, “Assalamualaika Ayyuha Al-Ajir (semoga keselamatan atasmu wahai pelayan).” Kemudian ketika mereka para ajudan mengatakan kepada Abu Hazim, “Katakan Assalamualaikum Ayyuha Al-Amir (semoga keselamatan atasmu wahai amir atau penguasa).” Namun ia mengabaikan hal itu dan menghadap Mu’awiyah dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu telah berbuat zalim kepada umat ini, dengan menggadaikan Tuhanmu!”

Ketika Abdurrahman An-Nashir memerintah di kota Az-Zahra’ di Andalusia, ia memulai pembangunan dengan memperbaharui segala sesuatu yang perlu diperbaiki, la mengeluarkan banyak biaya tanpa menghitung dan mencatatnya. Ia ingin mendirikan “Istana yang mengkilap” dan menghiasi kubahnya dengan lapisan emas dan perak. Tatkala mendengar hal itu, seorang hakim bernama Mundzir bin Sa’id kecewa terhadap keinginan An-Nashir dan marah. Ia menilai hal itu menghambur-hamburkan uang rakyat,

Mundzir pun berdiri di depan masjid lalu berkhotbah saat Nashir hadir di masjid tersebut. Mundzir menghadap ke arah Nashir dengan penuh kecaman dan celaan. Ia mengatakan, “Aku tidak mengira bahwa setan -semoga Allah melaknati- membayarmu dengan bayaran ini dan tidak memanfaatkan secara sempurna kepemimpinan dan keutamaanmu di dunia ini sebagai pemberiaan Allah hingga menurunkan derajatmu sebagaimana orang-orang kafir!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

12 − 11 =