Begini Cara Islam Berantas Korupsi

 Begini Cara Islam Berantas Korupsi

Ilustrasi

Biaya Politik Mahal Meniscayakan Korupsi
Dalam sistem demokrasi-kapitalis, kekuasaan berasal dari rakyat yang berikutnya memilih penguasa melalui pemilu, tetapi mekanisme ini sering dikendalikan oleh pemodal besar. Biaya politik demokrasi sangat mahal! Kampanye politik membutuhkan miliaran rupiah, sehingga kandidat bergantung pada donatur kaya. Para pemodal dan korporasi berperan besar dalam pendanaan politik dan mengatur kebijakan setelah calon menang. Pejabat yang menang “membalas budi” kepada donatur melalui proyek, perizinan, dan kebijakan yang menguntungkan sponsor politiknya. Kekuasaan pada akhirnya digunakan untuk kepentingan elite politik dan pemodal.
Dalam Islam, pemimpin bukan dipilih atas popularitas layaknya dalam sistem demokrasi. Kekuasaan adalah amanah untuk menegakkan syariat dan melayani umat. Tidak ada biaya kampanye besar karena pemimpin dipilih berdasarkan kredibilitas dan ketakwaan, bukan uang. Tidak ada ruang bagi korporasi atau individu kaya untuk membeli kekuasaan dan tidak ada balas budi politik, sebab pemimpin dan pejabat terikat syariat. Setiap harta yang mencurigakan akan diaudit dan bisa disita.
Sistem Ekonomi Kapitalisme Ladang Subur Korupsi
Dalam pengelolaan ekonomi kapitalisme, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) diliberalisasi kepada swasta dan asing. Tentu ini adalah ladang subur bagi pelaku korupsi. Di sinilah para pemilik modal turut bermain dalam proyek pengelolaannya. SDA tidak dikelola negara, justru diserahkan kepada swasta yang jelas-jelas melakukan aktivitasnya untuk mencari keuntungan bukan berporos kemaslahatan rakyat. Dalam hal ini jelas negara telah berlepas tangan dari pengurusan hak rakyat.
Islam telah menetapkan bahwa SDA dengan deposit besar adalah milik umum dan negara wajib mengembalikan hasilnya pada rayat dalam bentuk fasilitas pendidikan, kesehatan, dan jaminan keamanan gratis, beserta pemenuhan hajat hidup rakyat lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api,” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Sistem Pendidikan Sekuler-Kapitalis Lahirkan Pejabat Korup
Sistem pendidikan sekuler tidak mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa. Justru sebaliknya, sistem ini mencetak pribadi bermental korup dengan orientasi materi semata. Wajar jika berikutnya menjadi penguasa, keuntungan materilah yang ada di depan mata. Belum lagi dengan gaya hidup hedonis yang kini juga kita saksikan melekat pada para pejabat dan keluarganya. Mulai dari pakaian, mobil, hingga rumah mewah tak luput dari pandangan.
Tentu berbeda dengan sistem Islam. Sistem pendidikan Islam berfokus pada pembentukan syakhsiyah (kepribadian) Islam, baik pola pikir maupun pola sikap. Lahir dari pendidikan Islam generasi yang memahami betul tujuan hidupnya, serta keyakinan tak terbantahkan bahwa akan ada penghisaban di ujung dari hidupnya. Hisab (perhitungan) amal oleh Yang Maha Adil dan Teliti, sehingga ianya tidak akan berani berbuat yang melanggar larangan-Nya. Termasuk korupsi yang tergolong dalam tindakan khianat pada amanah, lebih-lebih menimbulkan kerusakan yang besar di tengah umat.
Lemahnya Sanksi yang Tidak Membuat Jera
Pejabat sering tidak diaudit, sehingga rawan korupsi. Lembaga anti-korupsi pun bisa dipolitisasi. Begitu tertangkap sebagai pelaku, hukumannya sering ringan dan bisa diakali, bahkan ada imunitas bagi pejabat tinggi.
Dalam Islam ada mekanisme hisbah (pengawasan), qadhi (hakim), dan rakyat yang aktif mengoreksi pemimpin berdasarkan hukum syariat. Ketika ditemukan kasus, hukumannya tegas, bisa sampai pada penyitaan harta, hukuman fisik, hingga hukuman mati bagi koruptor berat.
Lebih spesifik, koruptor dalam sistem Islam dikenakan sanksi takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa berupa nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman takzir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Kita juga melihat bagaimana pemberantasan korupsi dalam Islam begitu tegas dilakukan oleh para khalifah pada masanya. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab misalnya, ia sangat jeli mengawasi para gubernurnya dan melarang mereka hidup bermewah-mewahan. Jika ada pejabat yang kekayaannya mencurigakan, hartanya disita dan dikembalikan ke baitul mal. Gubernur Bahrain, Abu Hurairah, pernah menggembung hartanya ketika menjabat, lantas diminta untuk mempertanggungjawabkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + 18 =