Bahaya Fitnah di Era Digital: Bagaimana Bedakan Fakta dan Hoaks?
Oleh:
Ibnu Syafaat
KEHADIRAN media sosial atau medsos seperti pisau bermata dua. Medsos bisa menghadirkan dan dimanfaatkan untuk nilai positif, bisa juga digunakan untuk hal-hal negatif.
Satu konten yang disebar melalui medsos dalam hitungan detik dapat diakses oleh banyak orang. Jika konten yang disebar bernilai positif tentu dapat membawa manfaat bagi masyarakat yang mengaksesnya.
Namun, jika konten itu bernilai negatif, seperti fitnah dan hoaks, tentu ini dapat menciptakan kegaduhan masyarakat. Bahkan dapat merusak citra, nama baik dan reputasi seseorang atau kelompok yang menjadi objek fitnah atau hoaks.
Pencemaran nama baik bisa terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari penyebaran rumor palsu, penggunaan foto atau video yang diedit secara tidak benar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tindakan pencemaran nama baik sering kali dilakukan dengan tujuan menjatuhkan orang lain secara sengaja, dan dapat menyebabkan dampak serius pada korban. Termasuk kerugian finansial, reputasi yang hancur.
Hal ini seperti dialami oleh praktisi pendidikan dan parenting Fifi P. Jubilea atau karib disapa Mam Fifi. Baru-baru ini, Mam Fifi yang merupakan pendiri Jakarta Islamic School (JISc), menjadi korban fitnah berupa video hoaks yang disebarkan melalui satu akun medsos.
Pada video itu dinarasikan jika kesuksesan Mam Fifi membangun JISc diraih dengan cara-cara musyrik, melibatkan dukun. Video mendapat atensi dari penduduk maya. Mereka berkomentar tidak percaya Mam Fifi melakukan perkara musyrik.
Penulis juga sempat menyimak video itu. Jujur, rasa ingin ketawa spontan hadir manakala menonton video itu. Dalam hati penulis: ini video lucu amat. Murahan. Tidak profesional amat bikinnya. Apalagi mengaitkan dengan sosok Walid, film Malaysia yang sedang viral itu. Maksud si pembuat konten hoaks mungkin biar viral.
Penulis pernah beberapa kali bertemu Mam Fif. Dari pertemuan itu, sama sekali aura Mam Fifi tidak terlihat sebagai pribadi yang gemar praktik perdukunan. Justru Mam Fifi itu pribadi yang optimis, rasional, dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penulis teringat dengan kata-kata Mam Fifi. Bahwa kesuksesan siswa JISc tembus ke PTN hingga 98 persen buah dari kedekatan dengan Allah. Dengan konsep Thingking Skill, para siswa JISc terus diasah logika dan rasionalitas berpikir. konsep pendidikan di JISc yang selalu mengutamakan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Taala membantu para siswa dalam menyerap pelajaran
Keberhasilan ini menjadi refleksi atas komitmen Mam Fifi dalam memberikan pendidikan berkualitas tinggi yang seimbang antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan.
Dari situ terang benderang, kalau Mam Fifi bukanlah sosok yang percaya dengan hal mistis. Maka konten yang kemudian dihapus oleh sang empunya akun itu, jelas-jelas berbau fitnah dan hoaks.
Bijak Bermedsos
Belajar dari kasus itu, masyarakat perlu bijak dalam bermedia sosial. Masyarakat harus cerdas memilah antara fakta dan hoaks. Kalau penulis amati, biasanya konten hoaks itu diberi judul sensasional dan provokatif. Maka, berhati-hatilah masyarakat jika mendapati konten seperti itu.
Kemudian, masyarakat perlu mencermati sumber konten. Periksa dan lakukan check and recheck manakala menemukan konten yang diduga hoaks. Biasanya konten hoaks berasal dari sumber tidak terpercaya.
Konten hoaks biasanya menggunakan foto atau video yang telah dimanipulasi atau diedit secara tendensius untuk mendukung narasi palsu.
Terakhir, hal terpenting jangan menyebarluaskan konten berbau fitnah dan hoaks tanpa ada verifikasi dan validitas.*
