Apa Urgensi Penyediaan Alat Kontrasepsi bagi Siswa dan Remaja?

Ilustrasi
Menurutnya, hal tersebut tidak sejalan dengan amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama karena penyediaan fasilitas alat kontrasepsi bagi siswa ini sama saja membolehkan budaya seks bebas kepada pelajar (inilah.com, 4/8/2024).
Diantra pasal-pasal yang perlu dikritisi:
Pada pasal 103 ayat (1) berbunyi: “Upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.”
Pasal tersebut berfokus pada persoalan sistem reproduksi (baca: aspek seksual), dan sasarannya adalah: anak usia sekolah dan remaja (SD, SMP, SMA.) Jadi pasal ini bukan dikhususkan bagi pasutri dewasa yang sudah menikah. Alih-alih memberikan edukasi pencegahan, justru terkesan mendorong untuk melakukan tindakan seksual dengan minim resiko.
Pasal 103 ayat (2) berbunyi: “Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, menjaga kesehatan alat reproduksi, perilaku seksual berisiko dan akibatnya, keluarga berencana (KB), melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual, serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
Dari pasal itu, kita melihat pada anak usia sekolah dan remaja, sudah ada aturan mengenai perilaku seksual yang berisiko. Ini bisa dimaknai, berarti ada perilaku seksual yang tidak berisiko (safe sex), juga sudah diatur KB untuk kalangan usia sekolah dan remaja yang seharusnya diperuntukkan bagi pasanhan yang sudah menikah.
Pasal 107 ayat (2): “Setiap orang berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi.”
Frasa “setiap orang” dalam pasal ini berarti mencakup siapa saja baik anak-anak usia sekolah dan remaja. Jadi jika ada anak SD, SMP, atau SMA membeli kondom di apotek misalnya, atau minta layanan kontrasepsi ke klinik, misal mau pasang IUD (spiral), RS atau dokter, haruskah melayani sesuai pasal ini?
Pasal 103 ayat (4) berbunyi, “Pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. deteksi dini penyakit atau skrining, b. pengobatan, c. rehabilitasi, d. konseling, e. penyediaan alat kontrasepsi”.
Pasal ini yang paling disoroti banyak mendapat tanggapan publik karena dianggap paling berbahaya. Apa urgensi memberikan pelayanan kesehatan reproduksi bagi usia sekolah dan remaja dengan penyediaan alat kontrasepsi?
Dengan penelaahan yang mendalam, maka PP ini diduga justru sebagai bagian liberalisasi seksual. Meski tidak mengungkapkannya secara eksplisit, namun mengarah pada pembolehan zina yaitu legalisasi seks bebas di luar nikah bagi anak usia sekolah dan remaja. Aturan ini lahir dari sebuah kepentingan yankni menghadirkan seks aman (safe sex) secara medis, tidak memandang apakah itu seks halal ataukah seks haram di luar nikah menurut Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini.