AI dan Media Religius: Antara Peluang Dakwah Digital dan Ancaman Disinformasi

Jakarta (Mediaislam.id) – Di tengah pesatnya kemajuan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), jurnalis dan pelaku media keagamaan diingatkan untuk tidak hanya mengikuti tren, tetapi juga memahami risiko dan tanggung jawab etis yang mengikutinya. Hal ini disampaikan oleh Ika Idris, Co-Director Data & Democracy Research Hub dan Fellow Open Society Foundation 2025, dalam sesi diskusi Rakernas Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Dalam paparannya berjudul “The Benefit and Risk of AI for Religious Media”, Ika menjelaskan bahwa AI dapat membuka peluang besar bagi media berbasis nilai agama, mulai dari efisiensi kerja redaksi, digitalisasi konten spiritual, hingga memperluas jangkauan pesan keagamaan melalui format lintas platform yang otomatis.
“AI dapat membantu mengenali potensi keterlibatan spiritual baru dari masyarakat pengguna digital, dan bisa digunakan untuk melahirkan kontra-narasi terhadap ujaran kebencian atau konten yang memecah belah,” ujarnya, mengutip hasil riset kolaboratif antara Monash Data & Democracy Research Hub dan SafeNet tahun 2025.
Otomatisasi dan Kontra-Narasi
AI memungkinkan konten keagamaan, seperti ceramah, puisi spiritual, esai religi, hingga manuskrip tua, didigitalkan dan didistribusikan secara cepat dan mudah. Lebih dari itu, sistem AI dapat mengenali dinamika publik dan menawarkan opsi penguatan pesan perdamaian dan toleransi, utamanya di ruang-ruang digital yang rentan polarisasi.
Namun, Ika mengingatkan bahwa manfaat ini hanya dapat dicapai bila data pelatihan yang digunakan mencerminkan keberagaman budaya, bahasa, dan perspektif dari masyarakat global, termasuk dari Dunia Selatan (Global South). “Tanpa data berbahasa non-Inggris dan konten orisinal dari komunitas kita, AI tidak akan bisa memahami konteks religius lokal,” tegasnya.
Bias, Halusinasi, dan Erosi Kepercayaan
Di sisi lain, penggunaan AI juga membawa sejumlah risiko serius. Mulai dari bias algoritma, potensi hallucinated content (konten imajinatif atau salah), hingga penyebaran teori konspirasi dan disinformasi yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap media.
“Risiko terbesar bukan pada misinformasi biasa, tapi pada pembentukan persepsi salah yang sistematis dan menjatuhkan otoritas media berbasis agama,” ungkap Ika.
Ia juga menyoroti potensi pelanggaran hak cipta jika konten keagamaan yang bersifat personal atau komunitarian digunakan tanpa izin dalam proses pelatihan model AI.
Selain itu, hadirnya bidang baru bernama Affective AI, yang memungkinkan mesin mengenali dan mensimulasikan emosi manusia, bisa menjadi ancaman terhadap otentisitas spiritual.
“Bayangkan bila konten religi dihasilkan tanpa pengalaman batin manusia, apakah itu masih bernilai dakwah?” tanyanya kritis.
Data, Etika, dan Kedaulatan Digital
Ika Idris menutup paparannya dengan tiga catatan penting bagi pelaku media keagamaan dan jurnalis Muslim:
Pertama, bangun basis data lokal: Produksi konten orisinal dalam bahasa dan perspektif lokal sangat penting agar AI mencerminkan nilai-nilai budaya kita.
Kedua, junjung etika digital: Gunakan AI secara bertanggung jawab, hindari manipulasi emosional dan jaga nilai kebenaran.
Ketiga, pertahankan kedaulatan narasi: Media keagamaan harus menjadi penjaga nilai luhur, bukan sekadar konsumen teknologi.
Rakernas PJMI dan Diskusi Strategis bertajuk “Tantangan Jurnalis Muslim di Era Disrupsi Digital dan Artificial Intelligent (AI)” digelar pada Jumat, 25 Juli 2025 di Aula Alap-Alap, Gedung G, Balai Kota DKI Jakarta, Lantai 22, Jakarta Pusat.
Rakernas PJMI 2025 menjadi momentum penting bagi komunitas pers Muslim Indonesia untuk menyikapi AI secara strategis: tidak sekadar ikut arus, tapi memimpin arah perubahan menuju media yang cerdas, etis, dan spiritual. [ ]