Resep Anti-Iri di Era Gig Economy

 Resep Anti-Iri di Era Gig Economy

Oleh:

Muhammad Ridho Al anshari | Mahasiswa PTIQ Jakarta

 

DI TENGAH laju media sosial yang tak terbatas, kita sering disuguhi visual kesuksesan, kekayaan, dan pencapaian orang lain. Fenomena ini semakin kental di Era Gig Economy, di mana kebebasan finansial, jam kerja fleksibel, dan hasil kerja yang menggiurkan sering menjadi tolok ukur kesuksesan instan yang mudah dipamerkan. Terkadang, melihat konten kreator A mencapai jutaan subscriber, atau freelancer B memenangkan kontrak internasional dengan mudah, dapat memicu perasaan tak nyaman dan mengikis rasa syukur: penyakit iri hati atau ḥasad. Perasaan ini, jika dibiarkan, dapat menjadi racun yang mengganggu fokus kerja dan merusak ketenangan batin.

Namun, Al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu spiritual yang sangat jelas mengenai sikap seorang Muslim terhadap rezeki orang lain, jauh sebelum era digital ini hadir. Rambu mendasar tersebut terdapat dalam Surah An-Nisa [4]: 32. Ayat ini adalah fondasi spiritual yang mendalam, mengajarkan kita untuk mengendalikan hati dari penyakit iri, dan mengalihkan energi negatif tersebut menjadi energi positif berupa usaha dan doa yang murni. Ayat ini relevan secara abadi, namun terasa begitu kontekstual dengan dinamika persaingan di dunia kerja modern yang serba cepat.

Surah An-Nisa [4]: 32 berbunyi:

 وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat ini secara lugas melarang kita untuk mengangan-angankan atau iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kita lebih banyak dari sebagian yang lain. Sebab, bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Inti dari ayat ini adalah sebuah perintah untuk mengalihkan fokus: daripada iri, kita diperintahkan untuk memohon kepada Allah sebagian dari karunia-Nya (وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ayat ini menyeimbangkan antara usaha individu dan tawakal penuh kepada Sang Pemberi Rezeki.

Asbāb an-nuzūl (sebab turunnya) ayat ini adalah bahwa ayat ini diriwayatkan turun sebagai respons terhadap keluhan yang diajukan oleh Ummu Salamah. Ia merasa bahwa Islam cenderung menomorduakan kaum wanita karena adanya perbedaan ketentuan dalam aspek-aspek tertentu, seperti tidak diizinkannya wanita untuk ikut berperang dan perbedaan dalam pembagian warisan, di mana wanita hanya mendapatkan setengah bagian dari yang diterima oleh kaum pria. Ummu Salamah secara spesifik menyatakan, “Kaum pria bisa ikut berperang, sedangkan kaum wanita tidak. Kami pun hanya mendapat setengah dari warisan yang diterima kaum pria.” Menanggapi keluhan ini, Allah SWT kemudian menurunkan ayat yang berbunyi:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ

“Janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain.”

Dalam konteks tafsir, para ulama menegaskan bahwa larangan mengangan-angankan dalam ayat ini bukan sekadar larangan sepele, melainkan larangan terhadap sikap yang merusak iman dan hubungan sosial. Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Ibnu Katsir, 1999: 251) menjelaskan maksud ayat ini dengan sangat lugas, menegaskan bahwa karunia adalah ketetapan Allah dan berdo’a adalah kunci. Beliau berkata: “Dan janganlah kamu iri (berangan-angan untuk mendapatkan) karunia yang telah Kami berikan kepada sebagian kamu melebihi sebagian yang lain, karena sesungguhnya hal itu adalah ketetapan (yang pasti terjadi), artinya angan-angan itu tidak akan bermanfaat sedikit pun. Akan tetapi, mintalah kepada-Ku dari karunia-Ku, niscaya Aku akan memberimu, karena sesungguhnya Aku Maha Pemurah lagi Maha Pemberi.” Penjelasan ini menegaskan bahwa iri hati adalah tindakan sia-sia karena rezeki telah ditetapkan, dan solusi spiritualnya adalah meminta langsung kepada Sumber Karunia.

Imam Ibnu Katsir kemudian menguatkan penjelasannya dengan hadits yang mengalihkan fokus dari iri hati kepada do’a dan pengharapan. Beliau meriwayatkan: “Dan sungguh At-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Mintalah kepada Allah dari karunia-Nya, karena sesungguhnya Allah suka diminta. Dan sesungguhnya ibadah yang paling utama adalah menanti kemudahan (kelapangan).'” Hadits ini mengajarkan kita bahwa energi yang seharusnya digunakan untuk membandingkan dan mendengki lebih baik dialokasikan untuk ibadah teragung, yaitu bersabar dan berharap kelapangan dari Allah (intizhār al-faraj). Dalam Era Gig Economy, ini berarti mengubah fokus dari kekayaan orang lain menjadi keyakinan penuh akan janji Allah saat kita berusaha.

Selanjutnya, ulama kontemporer ‘Ali al-Ṣābūnī dalam Ṣafwah at-Tafāsīr (‘Ali al-Ṣābūnī, 1997: 251), menggarisbawahi dampak sosial dari iri hati dan hikmah ilahi di balik perbedaan rezeki. Beliau menjelaskan: “Maksudnya, janganlah kalian, wahai orang-orang Mukmin, mengangan-angankan apa yang telah Allah Ta’ala khususkan kepada selain kalian, baik itu perkara dunia maupun agama, karena hal itu dapat menjurus kepada saling dengki (al-taḥāsub) dan saling membenci (al-tabāghuḍ).” Iri hati, oleh karena itu, bukan hanya masalah personal, tetapi juga masalah komunal yang merusak keharmonisan. Jika semua orang di lingkungan kerja saling mendengki, suasana kerja yang sehat dan kolaboratif akan hancur.

‘Ali al-Ṣābūnī melanjutkan dengan mengutip pandangan Al-Zamakhsharī, yang menekankan asal-usul pembagian rezeki ini: ” Al-Zamakhsharī berkata: Mereka dilarang dari dengki (al-ḥasad) dan dilarang dari mengangan-angankan pemberian atau anugerah Allah yang tidak sama untuk semua orang, baik berupa kedudukan (al-jāh) maupun harta (al-māl). Sebab, karunia (pemberian kelebihan) itu adalah pembagian dari Allah yang berasal dari hikmah, pengaturan, dan pengetahuan-Nya terhadap keadaan hamba-hamba-Nya.” (Al-Zamakhsharī, 1986: 504) Kutipan ini memberi penekanan pada konsep takdir dan keadilan Allah. Perbedaan rezeki, keahlian, dan kesempatan bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari hikmah, pengaturan (tadbir), dan pengetahuan-Nya (‘ilm) yang sempurna atas keadaan setiap hamba. Kita mungkin melihat hasil akhir, tetapi Allah mengetahui seluruh proses dan takdir yang terbaik bagi setiap individu.

 

Resep Alquran

Bagi para pekerja gig, freelancer, atau siapapun yang bergelut dalam persaingan ketat, menerapkan QS. An-Nisa 32 adalah sebuah resep untuk ketenangan profesional. Hal ini berarti mengalihkan pandangan dari “mengapa mereka lebih sukses?” menjadi “bagaimana saya bisa berbuat lebih baik dengan karunia yang Allah berikan kepada saya?” Fokus harus dialihkan dari perbandingan outcome orang lain menuju peningkatan input dan effort diri sendiri, sesuai dengan janji bahwa setiap orang mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan (mimmā iktasabū). Alih-alih berkata, “Andai saja saya seproduktif dia,” ubahlah menjadi, “Ya Allah, berilah aku karunia-Mu yang terbaik, ilhamilah aku untuk meningkatkan usahaku, dan mudahkanlah jalanku untuk menjemput rezeki yang halal dan berkah.” Inilah esensi dari Anti-Iri di Era Gig Economy.

QS. An-Nisa 32 mengajarkan kita bahwa persaingan sejati bukanlah melihat ke atas dengan hati yang sakit karena iri, melainkan melihat ke depan sambil berfokus pada potensi diri dan berharap hanya kepada Allah subḥānahu wa ta’ala semata. Dengan memegang teguh prinsip ini, kita dapat menjalankan profesi, apapun bentuknya, dengan hati yang damai, penuh syukur, dan produktivitas yang optimal, karena kita menyadari bahwa rezeki adalah anugerah, bukan perlombaan yang harus dimenangkan dengan hati yang kotor. Inilah kunci untuk mencapai ketenangan, baik dalam beribadah maupun dalam berkarir.

 

Referensi

Abū al-Qāsim Maḥmūd ibn ‘Amr ibn Aḥmad al-Zamakhsharī, Al-Kashshāf ‘an Ḥaqā’iq Ghawāmiḍ al-Tanzīl, cet. ke-3 (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1407 H/1986 M).

Muhammad ‘Ali al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsīr, (Kairo: Dār al-Ṣābūnī li al-Ṭibā‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzī‘, cet. I, 1417 H/1997 M).

Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Kaṡīr Aṡ-Ṡaqafī. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Ibnu Kaṡīr). (Beirut: Dār al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1999 M).*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − twenty =