Ketaatan pada Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an
Ilustrasi
Oleh: Fathul Azis*
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S an-Nisa ayat 59)
AL-QUR’AN surah an-Nisā’ ayat 59 menghadirkan sebuah penegasan yang begitu kuat bagi kehidupan umat Islam, bahwa ketaatan kepada Allah, Rasul, dan para pemimpin bukan sekadar aturan, tetapi fondasi yang menjaga tegaknya martabat dan ketertiban masyarakat.
Ayat ini seakan mengingatkan kita bahwa kepemimpinan yang benar lahir dari hati yang jujur, sikap amanah, dan keberpihakan kepada keadilan. Maka, ketaatan yang diminta Islam bukanlah kepatuhan tanpa nalar, melainkan ketaatan yang tumbuh dari keyakinan bahwa pemimpin berjalan di atas nilai-nilai kebenaran yang diajarkan syariat Islam.
Dari ayat ini dapat ditarik beberapa indikator penting yang menjadi dasar pembahasan. Pertama, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan prinsip utama yang harus dipegang oleh setiap Muslim.
Kedua, istilah ulil amri memerlukan kajian mendalam, terutama terkait cakupan makna dan otoritas yang dikandungnya.
Ketiga, al-Qur’an dan Sunnah berfungsi sebagai rujukan utama dalam menyelesaikan setiap persoalan dan perbedaan pendapat, karena bersandar pada petunjuk wahyu yang bersifat pasti dan komprehensif.
Tafsir Ayat
1. Ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُول
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)”
Allah adalah Zat yang wajib ditaati, dan salah satu hak prerogatif ulūhiyyah-Nya adalah menetapkan syariat bagi hamba-hamba-Nya. Karena itu, melaksanakan syariat Allah bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghambaan tertinggi seorang mukmin. Orang-orang beriman juga diperintahkan untuk taat kepada Rasulullah, sebab beliau membawa risalah dari Allah. Menaati Rasul bukanlah ketaatan yang berdiri sendiri ia sejatinya adalah bentuk ketaatan kepada Allah yang mengutusnya.
Adapun Rasulullah diutus untuk menyampaikan syariat serta menjelaskannya kepada manusia melalui sunnah-sunnahnya. Setiap keputusan dan tuntunan beliau merupakan bagian dari syariat Allah yang harus diikuti. Maka, iman seseorang bukan hanya terletak pada pengakuan lisan, melainkan pada sejauh mana ia tunduk, patuh, dan berkomitmen menjalankan syariat tersebut. Tanpa ketaatan, iman tinggal nama; dengan ketaatan, iman menjadi nyata.
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, Allah wajib ditaati. Di antara hak prerogatif uluhiyah adalah membuat syariat. Maka, syariat-Nya wajib kita laksanakan. Orang-orang yang beriman wajib taat kepada Allah dan wajib taat pula kepada Rasulullah karena tugasnya itu, yakni tugas mengemban risalah dari Allah.
Karena itu, menaati Rasulullah berarti mentaati Allah. Ibnu Katsir menjelaskan, taat kepada Allah adalah mengikuti ajaran Al Quran. Sedangkan taat kepada Rasulullah adalah dengan mengamalkan sunnah-sunnahnya.
