Hegemoni Digital: Penjajahan Halus yang Tak Disadari
Ilustrasi: Penggunaan media sosial. [GettyImages]
Di era ini, penjajahan tidak lagi datang dengan kapal perang, meriam, atau pasukan bersenjata. Penjajahan modern hadir melalui sesuatu yang kita genggam setiap hari: gawai. Ia tidak mengetuk pintu, tidak memaksa masuk, tapi kita sendiri yang menjemputnya, mengundangnya, bahkan memberinya ruang paling istimewa dalam hidup: perhatian.
Inilah yang disebut hegemoni digital sebuah proyek global yang begitu canggih, halus, dan sistematis. Ia tidak hanya merebut waktu, tapi juga cara berpikir, cara melihat dunia, bahkan cara manusia memahami dirinya sendiri.
Kita menyaksikan sebuah generasi yang tumbuh bersama algoritma, bukan akidah. Yang lebih percaya apa kata timeline daripada apa kata Tuhan.
Yang lebih hafal trend challenge dibanding hafalan surah pendek. Yang lebih cemas kehilangan sinyal daripada kehilangan iman.
Ini bukan kebetulan. Ini hasil dari rancangan besar peradaban sekuler-kapitalistik yang membentuk manusia sesuai kepentingan pasar. Tujuannya sederhana: menjadikan manusia konsumen, bukan pemikir, objek, bukan subjek, pasar, bukan pemimpin.
Hegemoni digital bekerja melalui algoritma, yang pelan-pelan menggiring perspektif manusia. Ia membuat yang batil terlihat normal, yang normal dianggap membosankan, dan yang haq dibungkam dengan label ekstrem, radikal, atau ketinggalan zaman.
Tak heran… Normalisasi maksiat makin masif, mental anak-anak makin rapuh, kekerasan digital meningkat, kecanduan konten makin parah, dan identitas keislaman makin kabur. Semua terjadi di tangan generasi yang lahir Muslim, tapi hidup dalam sistem yang membuat mereka lupa menjadi Muslim.
Namun sebagai seorang Muslim, kita tidak boleh hanya meratap. Kesadaran adalah permulaan perlawanan. Kebangkitan dimulai dari keberanian untuk melihat realitas apa adanya: bahwa teknologi bukan netral. Ia membawa nilai, membawa ideologi, dan membawa arah. Dan hari ini, arah itu jelas bukan menuju Allah.
Maka solusi tidak bisa sekadar “bijak bermedsos”, “kurangi screen time”, atau “internet sehat”. Semua itu hanya kosmetik di atas luka yang dalam. Yang diperlukan adalah kacamata ideologis Islam agar kita mampu memilah, menimbang, dan menegakkan standar hidup berdasarkan wahyu, bukan algoritma.
Karena pada akhirnya, hegemoni digital hanya bisa dikalahkan oleh keteguhan identitas Islam, bukan oleh fitur mute-notification. Oleh kesadaran peradaban, bukan sekadar aplikasi parental control. Oleh sistem Islam yang membentuk pola pikir, pola sikap, dan realitas sosial, bukan sistem sekuler yang menjadi akar persoalan.
Generasi pelopor perubahan tidak lahir dari scroll tanpa arah. Mereka lahir dari kesadaran bahwa dunia ini bukan playground kapitalisme, tapi ladang jihad intelektual, dakwah, dan perjuangan menegakkan kebenaran.
Dunia berubah.Teknologi berkembang. Tapi satu hal tidak boleh berubah yaitu kompas hidup kita adalah Islam. Wallahu a’lam bishowab.
Selvi Sri Wahyuni, M.Pd
Pegiat Pendidikan
