ICC Tolak Permintaan Israel Batalkan Memo Penangkapan Netanyahu dan Galan
Den Haag (Mediaislam.id) – Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menolak permintaan Israel untuk membatalkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Galant. Keduanya dituduh melakukan genosida dan kejahatan perang di Jalur Gaza.
Menurut laporan Channel 12 Israel, ICC juga menolak permintaan tambahan dari pihak Israel untuk membekukan penyelidikan terhadap keterlibatan Netanyahu dan Galant dalam kejahatan yang dilakukan selama perang pemusnahan di Gaza.
Langkah ICC ini menegaskan bahwa proses hukum terhadap para pemimpin Israel tetap berjalan, sekaligus menepis upaya Tel Aviv untuk menghindari pertanggungjawaban internasional.
Upaya Menghindar dari Tanggung Jawab
Penolakan ICC muncul hanya beberapa hari setelah ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata di Gaza—momen yang dinilai banyak pengamat sebagai upaya Israel mengeksploitasi situasi damai guna menunda atau meniadakan proses hukum terhadap para pemimpinnya.
Pada 21 November, Kamar Pra-Peradilan I ICC sebelumnya telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Netanyahu dan Galant. Namun, dokumen tersebut dirahasiakan untuk melindungi saksi dan menjaga integritas penyelidikan.
Langkah hukum ini dianggap bersejarah karena untuk pertama kalinya pengadilan internasional menargetkan pemimpin Israel atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Konteks Gencatan Senjata dan Pertukaran Tahanan
Sementara itu, pada 9 Oktober, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa pihak pendudukan Israel dan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) telah mencapai kesepakatan mengenai tahap pertama gencatan senjata serta rencana pertukaran tahanan.
Kesepakatan tersebut merupakan hasil negosiasi tidak langsung antara kedua pihak di Sharm el-Sheikh, Mesir, dengan mediasi Turki, Mesir, dan Qatar, serta berada di bawah pengawasan langsung Amerika Serikat.
Dalam kesepakatan itu, pihak perlawanan Palestina sepakat menyerahkan jenazah 28 tahanan Israel dengan imbalan pembebasan jenazah warga Palestina dari Gaza yang gugur dalam perang pemusnahan oleh otoritas pendudukan.
Hamas juga telah membebaskan 20 tahanan Israel yang masih hidup dari Gaza pada Senin lalu. Namun, Tel Aviv mengklaim bahwa jenazah 28 tahanan lainnya masih ditahan, empat di antaranya telah diterima oleh Israel.
Dunia Menyaksikan Luka Gaza
Sejak 7 Oktober 2023, pasukan pendudukan Israel dengan dukungan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa telah melancarkan serangan brutal di Jalur Gaza. Genosida yang berlangsung selama lebih dari setahun itu mencakup pembunuhan massal, kelaparan yang disengaja, penghancuran infrastruktur, pengungsian besar-besaran, dan penangkapan warga sipil tanpa dasar hukum.
Seluruh tindakan tersebut dilakukan dengan mengabaikan seruan internasional dan perintah Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menghentikan kekerasan.
Hingga kini, lebih dari 238.000 warga Palestina tewas atau terluka, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Sementara itu, lebih dari 11.000 orang dinyatakan hilang, dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi dalam kondisi kelaparan dan tanpa akses air bersih.
Kelaparan telah menjadi senjata paling mematikan di Gaza. Banyak anak kehilangan nyawa bukan karena bom, melainkan karena tubuh kecil mereka tak lagi mampu melawan kelaparan yang disebabkan blokade total Israel. Sebagian besar kota dan wilayah di Jalur Gaza kini berubah menjadi puing-puing—simbol bisu dari penderitaan manusia terbesar abad ini.
Keadilan yang Diperjuangkan Dunia
Penolakan ICC atas permintaan Israel bukan sekadar keputusan hukum, tetapi juga sinyal bahwa dunia masih memiliki ruang untuk keadilan. Banyak pihak menilai langkah ini sebagai bukti bahwa pelaku kejahatan perang, betapapun kuatnya posisi politik mereka, tidak dapat sepenuhnya lolos dari tuntutan moral dan hukum internasional.
Di tengah reruntuhan Gaza, jutaan mata kini tertuju pada Den Haag—menantikan apakah hukum internasional benar-benar bisa berpihak pada korban, bukan pada kekuasaan.
sumber: infopalestina
