Gaji ‘Pekerja Agama’ Menurut Ibnu Khaldun

 Gaji ‘Pekerja Agama’ Menurut Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun dan kitabnya yang terkenal “Muqaddimah”

SEORANG filsuf yang sangat alim, ahli sejarah, qadhi, ahli fikih, pakar ilmu sosial, sastrawan yaitu Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya menyebutkan bab besar yang menceritakan tentang jalan mencari penghasilan dan jalan-jalan untuk bekerja dan berproduksi.

Di dalamnya disebutkan tentang hasil alam yang melimpah dan kekayaan besar serta yang tidak termasuk di dalamnya. Selanjutnya dia membuat bab khusus yang menjelaskan perihal sedikitnya harta di tangan para ulama.

Pasal ketujuh: Orang-orang yang menegakkan agama yaitu para qadhi, ulama fatwa, para guru, imam, khatib, muadzin dan sebagainya pada umumnya tidak mengagungkan urusan kekayaan dirinya.

Faktor penyebabnya adalah karena bekerja merupakan nilai dari perbuatan manusia yang antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan kebutuhan. Apabila pekerjaan sifatnya sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka pekerjaan itu memiliki nilai yang tinggi dan kebutuhan terhadap hal tersebut juga sangat besar.

Adapun para pekerja agama bukanlah profesi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. Hanya orang-orang tertentu yang membutuhkannya, yaitu orang-orang yang punya perhatian khusus terhadap agama. Meskipun terkadang fatwa dan keputusan agama terkadang dibutuhkan untuk menyelesaikan persengketaan, namun sifatnya tidak mendesak dan tidak berlaku secara umum sehingga banyak orang yang tidak membutuhkannya.

Adapun yang semestinya menegakkan kegiatan-kegiatan agama adalah para pimpinan negara karena di sana ada kemaslahatan, sehingga sudah sewajarnya mereka memberikan bagian rezeki kepada para pekerja agama sesuai dengan kebutuhannya – sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya. Akan tetapi para pemimpin tidak harus menyamakan bagian pekerja agama dengan para pemilik kekuasaan dan profesi lainnya.

Para pekerja agama karena memiliki dagangan yang mulia maka mereka juga mulia di hadapan para makhluk dan bagi diri mereka sendiri, sehingga mereka tidak mau merendahkan diri di hadapan para pemilik kekuasaan hanya untuk mendapatkan bagian rezeki. Bahkan mereka tidak mau menghabiskan waktu untuk hal tersebut, sebab mereka sudah disibukkan dengan dagangan yang sangat mulia sehingga mereka rela mencurahkan pikiran dan jiwa mereka. Bahkan, mereka tidak mau merendahkan diri di hadapan ahli dunia karena mereka memiliki dagangan yang sangat mulia. Oleh karena itu, pada umumnya mereka tidak mengagungkan kekayaan dunia.

Tentang hal tersebut, saya pernah mendiskusikannya dengan salah seorang pembesar dan dia menolak pendapat saya. Di tangan saya ada tumpukan kertas yang berisi statistik pada kantor sebuah istana berupa catatan mengenai pemasukan dan pengeluaran. Di sana saya melihat gaji para qadhi, imam, dan muadzin. Barulah kemudian pembesar itu sepakat dengan pendapat saya dan merujuk atas pendapatnya sendiri. Sungguh merupakan keajaiban yang itu datangnya dari rahasia Allah terhadap makhluk-Nya dan hikmah-Nya atas ciptaan-Nya. Hanyalah Allah yang Maha Pencipta, Mahakuasa, dan tidak ada tuhan selain-Nya.[]

Sumber: Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah. Kisah-Kisah Para Ulama dalam Menuntut Ilmu. (Terjemah). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2023.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + seven =