Membangun Peradaban Berkualitas

 Membangun Peradaban Berkualitas
Oleh:

KH. Bachtiar Nasir

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat ayat 13)

Untuk membangun Indonesia emas (bukan Indonesia cemas), jelas sekali bahwa yang pertama harus dibangun dan ditingkatkan kualitasnya adalah manusianya. Ukuran manusia itu terhormat atau tidak terhormat dan beradab atau tidak beradab; para ulama sepakat bahwa kata kuncinya terletak pada dua kata yaitu ilmu dan akhlak.

Dimulai dari Manusia
Islam membangun peradaban diawali dengan membangun manusianya. Bukan dimulai dengan membangun infrastruktur atau memberi fasilitas konsumtif pada umatnya. Jadi jelas, ukurannya bukan pada kebendaan atau materialisme.

Islam menumpukan tegaknya peradaban, pertama dengan ilmu. Manusianya harus berilmu dulu. Manusia-manusia muslim di masa awal peradaban Islam begitu sibuk dengan ilmu. Mempelajari dan mempraktikkan ilmu untuk segala hal yang bermanfaat bagi kemajuan umat, itulah yang dilakukan para pemuda dan ulama di zaman itu. Universitas-universitas pertama kali dibangun di masa kejayaan Islam dan menjadi rujukan-rujukan keilmuan yang begitu bergengsi di kala itu. Hingga kini, warisan dari masa kegemilangan ilmu dalam Islam dapat dilihat, salah satunya manakala kita berkunjung ke Granada, Spanyol.

Perpaduan yang indah dari kegemilangan ilmu arsitektur Islam yang terdiri dari ilmu algoritma dan seni yang luar biasa. Menghasilkan bangunan-bangunan yang indah, megah, dan masih tegak berdiri hingga sekarang. Bila bangunan yang dicipta saja sedemikian luar biasa, tentu manusia-manusia yang menciptanya juga menguasai keilmuan yang tinggi.

Namun demikian, dibalik itu, kita dan para turis yang mengagumi keindahan kota Granada mungkin juga banyak yang terlupa, bahwa Islam justru hancur dan dihancurkan di masa-masa materialisme justru menjadi “kiblat” umat Islam ketika itu. Sehingga seorang penyair, Ahmad Syauqi menyatakan bahwa, “Eksistensi sebuah bangsa diukur dari akhlak manusianya. Dan, kehancuran sebuah bangsa adalah bila sudah ‘hancur’ manusianya.” Manakala perdaban sebuah bangsa dan kemanusiaan diukur dengan materi, disaat itu pula manusia dan kemanusiaannya hancur.

Iman dan Amal
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nuur ayat 55).

Allah Ta’ala berjanji kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka penguasa di muka bumi. Sebagaimana orang-orang shaleh sebelum kita. Namun, perlu diperhatikan bahwa dasar janji tersebut adalah beriman dan beramal saleh.

Bila tidak keduanya, maka bukanlah dia sebagai penguasa, khalifah Allah di bumi.
Ibnu Khaldun menulis dalam kitabnya tentang faktor penyebab hancurnya peradaban Islam:

1. Rusaknya moralitas penguasa.
2. Penindasan penguasa dan ketidakadilan.
3. Nepotisme dan kedzaliman.
4. Oreintasi kemewahan masyarakat.
5. Egoisme.
6. Oportunisme.
7. Penarikan pajak berlebihan pada rakyat.
8. Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
9. Rendahnya komitmen beragama di masyarakat
10. Penggunaan pena dan pedang yang tidak tepat di masyarakat.

Secara umum, semua penyebab di atas berpangkal pada orientasi materistik pada penguasa dan masyarakat. Sehingga setiap orang hanya berpikir dan bertindak berdasarkan uang. Inilah faktor yang sangat ampuh memporak-porandakan Islam beserta kekuatannya; di masa kejayaan “material” kaum muslimin.

Kemudian, bagaimana cara kita menyikapi 10 faktor di atas yang semuanya kini ada di depan mata kita? Mari kita kembali pada falsafah awal tentang siapa manusia yang paling berkualitas, siapa manusia yang paling terhormat, dan siapa manusia yang punya kapabilitas menjadi agen peradaban.

Karena kondisi ini hanyalah dapat diubah dan diperbaiki, jika ada manusia dengan kualifikasi itu. Yaitu, “…orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujuraat ayat 13).

Menjadi penting bagi kita, umat Islam yang hidup di zaman modern ini, untuk kembali pada fondasi takwa. Hanya dengan takwa yang sebenar-benarnya, seseorang akan mampu menjadi agen perubahan peradaban. Energi takwa-lah yang akan membuat seseorang mempelajari dan mengamalkan ilmunya menjadi manfaat.

Atas dasar takwa pula seseorang akan memiliki akhlaqul karimah. Bukan sekadar menjadi “baik” menurut mayoritas orang. Namun, menjadi manusia yang mulia dan benar karena taat dan cinta-Nya kepada Allah Azza wa Jalla.

Fondasi takwa-lah yang akan membuat seseorang sibuk dengan ilmu dan pengamalannya. Hingga ia kemudian berbuah menjadi akhlak mulia yang mencerminkan kualitas keimanan dan dirinya. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita untuk tetap istiqomah bertakwa; hingga mati pun kelak dalam keadaan takwa.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 4 =