Centang Perenang Pilkada Serentak 2024
Ilustrasi: Pilkada Serentak 2024
SIAPA yang tidak _gemes_ ketika mengamati perjalanan Pilkada Serentak 2024. Manuver partai politik sungguh di luar ekspektasi. Mereka tidak malu-malu lagi menunjukkan bahwa hanya kekuasaan yang mereka cari. Di benaknya, kekuasaan adalah segala-galanya.
Coba lihat Pilgub DKJ 2024. Bagaimana akhirnya Anies ditinggal sendirian, dijegal pencalonannya menjadi cagub DKI. Partai-partai yang tadinya lantang mengumumkan untuk mendukungnya, tetiba berbalik arah ke kubu yang lain.
“Jangan baper, jangan dibawa sampai ke hati”. Demikian pesan pengamat politik Adi Prayitno ketika melihat permainan elite parpol di Pilkada 2024. Hari ini teman, besok bisa jadi lawan, dan sebaliknya, lanjutnya. Sebab prinsip utama mereka berpolitik adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok yaitu mendapatkan kekuasaan dengan cara apapun (liputan6.com, 11/08/2024).
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini menggambarkan bagaimana kotornya praktik politik hari ini. Demi mengejar kekuasaan, meraup keuntungan pribadi dan kelompoknya, berbohong, ingkar janji dan berkhianat sudah menjadi kebiasaan. Tak ada lawan abadi dan tak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Bahkan menghancurkan partainya sendiri pun dilakukan demi kekuasaan. Naif memang.
Sebenarnya tak perlu heran sih lihat kondisi politik yang makin ke sini makin ke sana. Centang-perenang mewarnai wajah perpolitikan di sistem demokrasi. Sebab sistem ini menjamin kebebasan berpendapat dan bertingkah laku, ditambah kebebasan beragama dan berekonomi. Menjadi-jadilah praktik politik yang bikin eneg.
Teringat saat Pilpres 2014. Salah satu capres yang mengusung tagline “Perubahan”, sowan ke ulama-ulama umat minta restu. Garang sekali, bagaikan singa, menyerang petahana saat kampanye. Pasca Pilpres yang ternyata memenangkan petahana, capres yang laksana singa itu ternyata bisa sejinak dan semanis kucing. Ia pun kini menikmati kursi empuk jabatan di kabinet petahana, bahkan kariernya terus meroket. Lupa dengan semangat perubahan yang menjadi janjinya dulu, berubah menjadi “Lanjutkan”. Ah, tak usahlah kusebut namanya. Kita tau sama tau bukan?
Fakta yang demikian akan terus berulang. Karena memang demikian tabiat demokrasi. Jauh-jauh hari, seorang Plato, filsuf Yunani kuno telah mengingatkan potensi kerusakan dari sistem demokrasi. Mulai dari ketidakstabilan politik, rentan manipulasi hingga munculnya tirani. Plato juga mengatakan bahwa liberalisasi atau kebebasan adalah akar demokrasi yang menjadi biang petaka mengapa negara demokrasi akan gagal selama-lamanya.
Dan mengejawantahlah semua analisis Plato hari ini. Lalu, apakah kita masih bisa husnuzhan pada sistem cacat, rusak dan merusak ini dengan berpikir “personnya yang salah”. Padahal kerusakan terjadi secara massif dan merata, tak hanya manusia, alam pun merasakan dampak buruknya.
Semua fakta, plus suplemen film dokumenter “The Sexy Killer” dan “Dirty Vote” semestinya mampu menyehatkan nalar kita. Kita perlu sistem alternatif yang mengembalikan fitrah manusia. Bukan menghamba pada kekuasaan dan jabatan. Namun menghamba kepada Sang Maha Pencipta sekaligus Pengatur. Itulah sistem Islam.
Sistem Islam berbasis akidah Islam dengan sumber aturannya berasal dari Allah SWT. Maka dapat dipastikan bahwa aturan tersebut akan mengantarkan manusia kepada kebaikan.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 96).
Yang kita lakukan saat ini adalah mencampakkan aturan-aturan Allah dan menggantinya dengan sistem demokrasi. Wajar jika kehidupan kita jauh dari kata berkah, sejahtera pun tidak.
