Meletakkan Dunia dalam Genggaman

Oleh:
Dr. Maimon Herawati, S.Sos., M.Litt
DUA orang berdagang di pasar yang sama, dengan isi toko yang sama, lokasi yang sama strategisnya, belum tentu menghasilkan keuntungan sama. Di sinilah pentingnya qana’ah dan sabar. Manusia wajib berusaha sekuat mereka, namun hasil Allah yang menentukan. “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, melainkan mereka mengubah keadaannya sendiri.” (Ar Rad: 11).
Sikap qanaah pertama ialah rela dan merasa cukup dengan yang ada. Ada dua kelompok muslim yakni orang yang selalu merasa cukup, merekalah yang disebut Rasulullah SAW dalam hadis ini,“Ajaib urusan kamu mukmin. Seluruh aktivitasnya adalah kebaikan. Jika dia mendapat kemudahan, dia bersyukur, dan kebaikan juga untuknya. Jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar, dan kebaikan juga baginya. (HR. Muslim).
Adapun golongan yang lainnya adalah muslim yang selalu merasa kurang (kurang kaya, kurang cantik, kurang langsing, kurang cerdas, dst).
Kedua, berusaha sekuat tenaga. Sewaktu hijrah, Rasulullah SAW merencanakan perjalanan beliau dengan Abu Bakar ra. dengan detil dan brilian. Rasul mendatangi rumah Abu Bakar di siang terik, saat penduduk Mekkah berlindung di dalam rumah. Mereka memilih hijrah tengah malam, memilih jalur hijrah yang berlawanan arah dengan tujuan, menjauhi Madinah. Kedua pilihan ini sebagai pengamanan dari tatap mata musuh secara berlapis.
Mereka berdiam dalam gua selama tiga hari untuk melihat kondisi. Mereka lalu mengambil jalan di pesisir pantai (yang jarang dilewati) menuju utara, ke arah Madinah. Rasulullah SAW dan sahabatnya melakukan ini. Padahal, bisa saja Rasulullah SAW minta kemudahan dari Allah seperti perjalanan Isra Miraj, langsung diantar Buraq dari Mekkah ke Medinah. Ini jelas menunjukkan manusia wajib berusaha sekuat tenaga. Manusia wajib mengupayakan apa saja yang mereka bisa.
Ketiga, memohon tambahan yang wajar dari Allah. Islam agama yang logis. Jika gaji PNS sekian juta, jangan berharap bisa mendapat durian runtuh tambahan berlimpah. Paling, ada bonus akhir tahun, THR. Berharap pernghasilan bombastis dari kerja minimal, itu namanya tidak masuk akal. Mesti ada unsur tipu-tipu atau ada yang dirugikan dengan itu. MLM, anyone? Atau terjebak dengan undian. Islam melarang umatnya berangan-angan. Andai … a … a … a … aku jadi orang kaya … seperti Oppie, jelas haram.
Keempat, sabar menerima ketentuan. Kisah Abu Bashir dan Abu Jandal saat perjanjian Hudaibiyyah menunjukkan tingginya kesabaran sahabat dalam menerima ketentuan. Abu Jandal, anak Suhail Bin Amar (Suhail kepala delegasi Quraisy Mekkah). Ia datang dengan kaki dirantai, melarikan diri dari rumah ayahnya. Ayahnya marah dan minta klausul perjanjian Hudaibiyyah dilaksanakan. ‘Muslim yang lari dari Mekkah ke Madinah, wajib dikembalikan ke Mekkah’.
Rasulullah minta supaya ada kelonggaran. Suhail menolak. Abu Jandal memohon supaya muslim menyelamatkan dia dari siksaan ayahnya ini. Menangislah para muslim. Umar berbisik pada Abu Jandal, memberi saran pada Abu Jandal supaya menggunakan pedangnya. Abu Jandal balik bertanya, kenapa bukan Umar yang menggunakan pedangnya? Umar menjawab, dia harus patuh pada Rasulullah. Abu Jandal yang tubuhnya penuh bekas siksaan ini berkata, ‘Lalu, apakah hanya kamu yang berhak patuh pada Rasulullah?’
Kelima, tawakal. Tawakal ialah memutuskan segala bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah, dan menggantungkan diri kepada Nya untuk meraih atau menghindari sesuatu. Tawakal bukan dengan melepaskan ikatan tali unta di depan masjid saat ditinggal salat. Tawakal adalah mengikatkan tali unta itu, lalu menyerahkan pada Allah penjagaan unta.
Keenam, tidak tertarik tipu daya dunia. Jika ingin, Umar bin Abdul Azis bisa meneruskan gaya hidup mewah dan megahnya saat diangkat jadi khlaifah. Dia sudah kaya sebelum menjabat, namun begitu Allah memberikan amanah kekuasaan padanya, beliau menanggalkan gaya hidup mewah dan pindah dari istana ke rumah sederhana. Dia memerintahkan istrinya untuk menyerahkan perhiasannya ke baitul maal. Sungguh, kita harus waspada dengan tipuan dunia. Hanya rumah di surga yang pantas kita khawatirkan, bukan rumah dunia.
Hikmah dibalik qanaah, ada manusia yang sabar dalam kekurangan. Saat gaji kecil, hidup pas-pasan dengan beasiswa, manusia bisa sabar dan istiqomah dalam dakwah. Namun saat memiliki kelebihan, manusia bisa saja lupa diri. Berbagai fasilitas yang semestinya mendekatkan diri pada Allah, malah menjadi sarana pembangkangan. Internet menyibukkan kita, membuat kita lengah dengan aktivitas ibadah dst.
Kisah Rasul yang mengasingkan diri dari para istri dan menggemparkan Madinah. Saat itu ummahatul mukminin sepakat meminta kenaikan living allowance, uang belanja dapur. Rasulullah menolak permintaan itu dan memilih menjauhi mereka semua. Ini menunjukkan bahwa Rasul sangat mementingkan hadirnya sikap qanaah dalam jiwa.
Hasil didikan Rasulullah nampak dari sikap Bunda Aisyah ra. saat menerima kiriman uang 2000 dirham. Beliau menyuruh pembantunya untuk membagikan uang itu kepada fakir miskin sampai tak bersisa. Saat itu beliau berpuasa, dan tidak ada gandum atau daging untuk buka puasa. Pembantunya mengeluh. Aisyah mengatakan, andai dia tahu sebelum pembagian itu kalau dapurnya kosong, tentu dia menyisakan dua dirham.
Bagi Aisyah, kekayaan digunakan untuk berbuat kebaikan, bukan untuk ditumpuk dalam tabungan. Hakikatnya, harta yang kita belanjakan di Sabilillah saja yang kita bawa ke akhirat, bukan yang dipakai shopping di dunia.
Sikap qanaah akan memudahkan muslim meletakkan dunia dalam genggaman mereka, bukan dalam hatinya. Tanpa sikap qanaah muslim akan menurutkan bisikan nafsu untuk lagi … lagi … dan lagi, tidak ada cukupnya. Mereka akan terus berlomba, siapa yang paling bagus mobilnya, paling luas rumahnya, paling menawan pakaiannya. Sibuk dengan dunia, dan lupa dengan akhirat. Bisa jadi belum ada simpanan akhirat itu, belum ada apa-apa. Padahal, hari ini bisa jadi adalah hari terakhir kita di dunia. Nau’dzubillah min dzalik.
Ayo, periksa hati, apakah telah hadir qanaah dan diri. Mari tumbuhkan tekad, berlomba-lomba untuk menyiapkan rumah di surga. Aamiin.*