Pentingnya Tazkiyatun Nafs

 Pentingnya Tazkiyatun Nafs
Oleh:

KH Bachtiar Nasir

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّىٰهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams ayat 7-10)

Hingar-bingar pembicaraan tentang politik telah bergaung dimana-mana. Akan tetapi, sebagai seorang muslim telah memiliki pijakan yang jelas dalam menjalani kehidupan, terutama dalam berbangsa dan bernegara. Di tengah hiruk-pikuk perbedaan ini, tujuan kita telah jelas yaitu menjadikan negara ini sebagai negara yang berketuhanan Yang Mahaesa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu, dalam kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan yang terpenting, harus menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berlkat rahmat dari Allah yang Mahakuasa.

Semoga perbedaan yang ada menjadi salah satu kekuatan perekat baru. Sehingga perbedaan pandangan, pemikiran, dan pendapat tidak akan membawa pada pertikaian dan pembelahan. Asalkan sama-sama untuk satu tujuan memuliakan agama Allah dan Rasul-Nya. Itulah takwa yang sepertinya harus dikedepankan bawa pekan-pekan menjelang pemilihan pemimpin negeri ini. Sehingga bertakwa kepada Allah Ta’ala akan senantiasa menjaga diri kita dalam kerangka implementasi takwa yang sebenarnya. Hingga akhirnya tiba waktu kita wafat dan berpulang kepada-Nya dalam keadaan yang sebenar-benarnya bertakwa, hanya kepada-Nya.

Pribadi takwa yang dapat memandang masalah dengan jernih ini hanya akan didapatkan dari mereka yang senantiasa melakukan tazkiyatun nafs dalam keseharian hidup mereka. Tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa berasal dari kata tazkiyah yang terdiri dari dua kata yaitu zaka yang berarti thaharah dan ziyadah yang berarti menambah. Membersihkan diri dari apa? Dari berbagai macam sifat buruk dan dosa yang melekat. Kemudian, di saaat yang sama kita meningkatkan kualitas diri dengan meng-install sifat-sifat mulia dalam diri.

An-Nafs sendiri adalah kesatuan antara ruh dan jasad. Pengikatnya adalah akal. Akal yang mengikat antara ruh dan jasad. Sehingga manusia tidak seperti malaikat yang sangat halus yang hanya terdiri dari komponen ruh saja. Namun, manusia juga bukan binatang yang bersifat material sama sekali. Yang hanya memperjuangkan hal-hal yang bersifat kasat mata dan memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Mengapa Ber-tazkiyatun Nafs
Tazkiyatun nafs sendiri adalah upaya terus-menerus yang tidak terhenti untuk membersihkan diri dari kotoran dan perbuatan dosa. Kemudian menggganti apa yang sudah kotor dan tak lagi layak pakai dengan meningkatkan diri melalui akhlak mulia. Langkah awalnya bermula dari ilmu. Dimulai dengan ilmu mengenal Allah Swt baru kemudian ilmu mengenal diri kita sendiri.

Mengapa kita selalu harus ber-tazkiyatun nafs? Ingatlah bahwa di ayat 9 surat Asy-Syams, Allah Azza wa Jalla berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّىٰهَا

“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu).”

Para ahli tafsir melihat ayat ini dari dua sisi yaitu sisi pertama berupa kebahagiaan bagi siapa pun yang telah membersihkan jiwanya sebagai salah satu bentuk kesungguhannya berada di jalan Allah. Dan sisi kedua yaitu, Allah Swt yang telah membersihkan diri kita dengan izin-Nya.

Namun demikian, dari kedua sisi tersebut, semuanya begitu penting; mengapa? Karena Rasululllah saw sendiri mengalami peristiwa tazkiyatun nafs ini bahkan di awal kehidupannya. Saat itu Jibril as membelah dada Rasulullah saw ketika ia masih dalam pengasuhan Halimatus Sa’diyah. Jibril as mengeluarkan hatinya, kemudian membersihkan berbagai kotoran yang melekat padanya dengan air zam-zam. Peristiwa yang dialami oleh Rasulullah Muhammad saw ini –meski tidak akan kita alami secara harfiah– menjadikan tazkiyatun nafs sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan oleh setiap manusia yang beriman.

Menjadi wajib menurut Jumhur ulama, manakala seseorang telah mendeteksi adanya bibit-bibit kejahatan yang bersemi di dalam dirinya untuk segera ber-tazkiyatun nafs. Sebelum ia terperosok semakin jauh ke dalam kerusakan dan kehinaan. Karena itu, beruntunglah mereka yang telah suci jiwanya dan kemudian kembali kepada Allah; salah satunya dengan berdzikir dan mendirikan shalat.

Tazkiyatun nafs juga merupakan salah satu jalan menyadari: siapa diri kita di hadapan Allah Ta’ala. Lihatlah, siapa sebenarnya kita di hadapan Allah Azza wa Jalla? Diri kita diciptakan-Nya dari tanah yang rendah dan merupakan tempat pijakan. Dihadapan-Nya, status kita bukanlah siapa-siapa dan kita wajib menyembah hanya kepada-Nya.

Karena, Dialah yang menghidupkan dan mematikan kita, yang telah menyempurnakan penciptaan kita dengan segala kemuliaan dan keajaiban, dan yang meninggikan status kita dengan akal. Di atas segala mahluk-Nya yang sesungguhnya lebih kuat dibandingkan kita.
Tahap berikutnya, Allah Ta’ala kemudian mengizinkan kita lahir dalam keadaan yang suci dengan fitrah untuk mengabdi hanya kepada-Nya.

Namun, Allah Azza wa Jalla juga menguji kita dengan menyisipkan dorongan lawwamah, yaitu dorongan untuk selau melakukan kejahatan dan kekotoran. Dengan dorongan dan imbas dari terpaan badai keimanan, manusia kemudian condong sedikit demi sedikit kepada Tuhan-tuhan selain Allah dan menghamba pada hawa nafsunya yang rendah.

وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

“dan, sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams ayat 10)

Di saat inilah, terjadi pertarungan dalam hati nurani antara bisikan hati yang fitrah dengan dorongan nasu lawwamah. Sesaat akan timbul kebimbangan. Di waktu kritis itulah manusia harus mampu mengedepankan akalnya dan mengaktifkan elemen lain yang dapat memuliakan dirinya yaitu ruh yang bersemayam dalam jiwanya.

Menjaga Diri dengan Tazkiyatun Nafs
Coba evaluasi diri, semenjak pertama kali bangun tidur, apa yang kita lakukan. Apakah sesuatu yang berdasarkan pada tuntunan ibadah atau sesuatu yang kita lakukan semata-mata karena dorongan keinginan kita saja. Apakah ketika kita melangkahkan kaki keluar rumah maka dorongannya adalah karena ingin melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala atau sekadar apa yang memang harus dilakukan untuk memenuhi keinginan diri sendiri?

Kalau mau tahu, apakah hari ini kita termasuk orang yang beriman atau tidak, maka periksalah apa yang kita kerjakan, adakah disana ada iman kepada Allah dan hari akhir? Sedangkan, orang-orang yang senantiasa menyucikan jiwanya akan memulai harinya dengan rasa syukur karena telah mendapatkan nikmat hidup dari Allah Swt serta dicukupkan tidurnya yang mengistirahatkan tubuhnya. Ia mengesakan Allah, memuji Allah, dan mengikrarkan bahwa Allah-lah yang Maha berkuasa dan Maha berkehendak.

Oleh karena itu, penyucian diri sangatlah penting untuk diri kita. Ini adalah persoalan besar karena Allah bersumpah dengan mahluk-mahluk ciptaan-Nya yang fenomenal seperti bumi dan matahari, hingga jiwa manusia. Orang-orang yang selalu berupaya untuk menyucikan diri tidak hanya akan bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Sebaliknya, orang yang berjiwa kotor, keputusan dan tindakannya juga berbahaya –tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga merusak orang lain dan lingkungannya.

Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi dan senantiasa menuntun diri kita untuk dapat selalu berusaha menyucikan diri.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen + twelve =