Marak Prostitusi Online Anak, Solusinya?

 Marak Prostitusi Online Anak, Solusinya?

ilustrasi (foto: shutterstock.com)

MORAL tergadai dan nirkemanusiaan, menyikapi maraknya prostitusi online anak. Ya bukan lagi wanita muda atau paruh baya yang menjadi incaran mucikari tapi anak di bawah umur. Para mucikari pun sekarang kebanyakan wanita muda. Mereka memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk menjerat anak-anak yang kesehariannya ‘berkutat’ dengan gadget.

KPAI melansir terjadi 2.355 kasus pelanggaran perlindungan anak hingga Agustus 2023. Terdapat 487 kasus untuk korban kekerasan seksual termasuk di dalamnya prostitusi anak. Yang terbaru kasus prostitusi 21 anak di bawah umur oleh mucikari mami Icha (24 tahun). Anak-anak tersebut diiming-imingi bayaran menggiurkan. Mirisnya mucikari tersebut mematok komisi tinggi dari korban mulai 500 ribu hingga 1,5 juta rupiah untuk sekali kencan. Perekrutan korban dilakukan melalui jejaring media sosial.

Harus diakui prostitusi online anak telah menjadi bisnis. Diduga kuat, terdapat sindikat di dalamnya. Walaupun sering terbongkar kasusnya oleh pihak kepolisian, prostitusi online anak sering mencuat kasus-kasusnya. Seakan tak pernah ‘mati’ bisnis tersebut. Mengapa terjadi demikian?

Antara Kebutuhan dan Minim Perlindungan Anak

Media mainstream melansir salah satu alasan para mucikari melibatkan anak di bawah umur yaitu terdesak ekonomi. Mereka berdalih sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mendapatkan pekerjaan. Lemahnya pegangan agama akhirnya menjadikan mereka membuka bisnis haram sebagai jalan keluarnya.

Anak-anak sebagai korban mengakui terlibat dalam prostitusi tersebut karena tuntutan gaya hidup. Standar gaya hidup remaja agar eksistensi dirinya diakui identik dengan materialistik dan hedonistik. Proses imitasi gaya hidup ini tak hanya dari pergaulan se-circle tapi dari media massa dan sosial.

Ditambah lagi korban dari anak broken home yang kurang kasih sayang, perhatian dan bimbingan agama dalam keluarga. Mereka ‘melarikan’ masalah hidupnya ke hal-hal negatif, termasuk prostitusi. Banyak korban tipe ini yang merasa ‘nyaman’ dengan prostitusi karena bisa melepaskan beban pikiran plus mendapatkan penghasilan sendiri. Tanpa memperdulikan lagi dosa dan efek negatifnya.

Maraknya gerilya para mucikari mencari mangsa walaupun sindikatnya ditangkap dan dihukum, menunjukkan lemahnya sanksi hukum yang berlaku. Dalam UU Perlindungan Anak hukuman yang ditetapkan pada terdakwa hanyalah penjara dan denda. Acapkali ‘dibebaskan’ karena dianggap tak punya dasar hukum untuk mendakwa. Miris. Dapat dikatakan perlindungan anak belum membumi hanya sebatas ‘wacana’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × two =