Praktik Seni Suara dan Tari dalam Sejarah Islam

Ilustrasi
PADA umumnya orang Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zaman jahiliyah. Di Hijaz kita dapati orang menggunakan musik mensural yang mereka namakan dengan iqa (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan berbagai instrumen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasulullah Saw, ketika Hijaz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku hadits terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari dan memainkan alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahid dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwayat saja, antara lain riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra ia berkata: “Pada suatu hari Rasulullah masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu’ats) (di dalam riwayat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana). (Kulihat) Rasulullah Saw berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abu Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya, “Di tempat Nabi ada seruling setan?” Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar seraya berkata, “Biarkanlah keduanya, hai Abu Bakar!” Tatkala Abu Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu ke luar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)…”
Dalam riwayat lain Imam Bukhari menambahkan lafazh: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islam).”
Hadits Imam Ahmad dan Bukhari dari Aisyah ra: “Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi Saw bersabda: “Hai Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian).”
Juga ada lafaz hadits riwayat Imam Ahmad berbunyi: “Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: “Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu) tentang wanita.”
Abdul Hay Al Kattani dalam “At Taratib Al Idariyyah” mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasulullah. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hamamah dan Arnab.
Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawari) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Saad (seorang dari tabi’in) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata:
“Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud Al Anshari. Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawari) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya, “Kalian berdua adalah sahabat Rasulullah Saw dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula?” Qurazhah menjawab, “Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan.” (HR. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian pada Pesta Pernikahan).