I’tikaf: Keutamaan dan Syarat-syaratnya

 I’tikaf: Keutamaan dan Syarat-syaratnya

Ilustrasi

I’TIKAF artinya menekuni pada sesuatu, dan dikatakan juga kepada orang yang tinggal di Masjid dan menekuni ibadah di dalamnya.

Keutamaannya

Suatu peribadatan yang sangat terpuji dilakukan baik di bulan Ramadhan maupun di hari-hari lainnya. Sabda Rasulullah Saw: “Siapa yang beri’tikaf sehari demi karena mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala, maka Allah berkenan membuat antaranya dan antara api tiga buah parit, tiap parit lebih jauh dari masyriq dan maghrib.” (HR. Thabrani)

I’tikaf paling utama dilakukan pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi Saw mencontohkan demikian: “Beliau senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, hingga beliau meninggal dunia.” (HR As-Syaikhan)

Umar bin Khattab pernah berkata kepada Nabi Saw: “Ya, Rasulullah Saya pernah bernadzar di zaman Jahiliyah, akan beri’tikaf di Masjidil Haram semalam. Maka sabdanya: Tepatilah nadzarmu itu, lalu ia pun beri’tikaf semalam…” (HR. Bukhari)

Menurut hadits Abu Hurairah ra: “Rasulullah Saw beri’tikaf tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan pada tahun beliau meninggal dunia, beliau ber’itikaf sebanyak dua puluh hari lamanya.” (HR. Bukhari)

Syarat-syaratnya

I’tikaf itu tidak dilakukan melainkan di masjid-masjid. Hal ini berdasarkan ayat yang memerintahkan: “Dan janganlah kamu bersetubuh dengan istrimu, sedang kami beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah 187)

Harus dilakukan di Masjid Jami’, supaya tidak harus ke luar untuk shalat Jumat, karena shalat Jumat itu wajib.

Menurut keterangan Aisyah ra: “Disunnatkan dalam i’tikaf tidak keluar, kecuali dalam keadaan yang tidak bisa dielakkan. Tidak mengunjungi orang sakit, tidak menyentuh istri dan tidak boleh bercampur bersamanya, dan tidak dilakukan i’tikaf melainkan dalam Masjid Jami’, dan disunnatkan juga kepada yang beri’tikaf supaya berpuasa.” (HR. Baihaqi, Abu Dawud)

Hal-Hal yang Boleh Dilakukan

Boleh keluar karena kepentingan yang tidak dapat dielakkan, dan boleh juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisiri. Kata Aisyah ra: “Ada kalanya Rasulullah Saw memasukkan kepalanya ke kamarku dari masjid sedang beliau dalam i’tikaf, lalu aku mencucinya, dan antaraku dan beliau dipisahkan oleh daun pintu, sedang aku dalam keadaan haidh, dan beliau tidak pernah masuk ke dalam rumah melainkan karena untuk membuang hajat, kalau beliau sedang i’tikaf.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)

Dianjurkan supaya membangun kemah kecil di bagian belakang masjid, karena Aisyah ra. juga mendirikan kemah kalau Rasulullah Saw mau beri’tikaf, sesuai dengan perintahnya.” (HR. Muslim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 5 =