Cara Khalifah Abu Bakar Awasi Pejabat Negara

 Cara Khalifah Abu Bakar Awasi Pejabat Negara

Abu Bakar Ash-Siddiq

PEMIMPIN kaum muslimin sepeninggal Rasulullah Saw, Abu Bakar Ash-Shiddiq, menetapkan yang paling utama sebagai dasar dasar pengawasan terhadap para pejabat, meneliti kerja-kerja mereka dan mengevaluasinya. Hal itu agar terjamin berjalannya tugas tersebut. Demikian juga meyakinkan agar pelaksanaannya berpegang kepada Al-Qur’anul Karim dan Sunnah pembawanya.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya penjaga muslim adalah yang dapat dipercaya yang melakukan apa yang diperintahkan dengan sempurna dan mengalahkan diri sendiri dengan kerelaan hati, hingga ia menyerahkannya kepada orang yang salah seorang penderma memerintahkannya.”

Demikian juga apa yang dikatakan oleh Buraidah Al-Aslami ra, dari Rasulullah, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami jadikan pegawai untuk suatu tugas lalu kami beri gaji, maka jika ia mengambil lebih dari itu (yang sudah kita tentukan) maka perbuatan itu adalah (satu bentuk) korupsi.”

Dan Abu Bakar melaksanakan ini secara nyata. Ketika datang Mu’adz bin Jabal, Gubernur Yaman ke Madinah, maka Abu Bakar berkata kepadanya, “Bagaimana laporanmu!” Mendengar ini, Mu’adz marah, dan berkata “Laporan adalah kepada Allah. Apakah aku juga harus laporan kepadamu?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, tidak ada tugas lagi yang aku serahkan kepadamu selamanya.”

Hingga dalam beberapa pertempuran, Abu Bakar Ash-Shiddiq selalu mengikuti hasil-hasilnya dan mengevaluasi para panglima atas apa yang telah mereka lakukan, menghitung seperlima dari harta rampasan perang yang disetorkan kepadanya serta menanyai para panglima jika dari mereka mendengar apa yang membuat mereka tidak puas.

Ketika sampai kepadanya kabar bahwa Khalid bin Al-Walid ketika sedang melakukan peperangan dengan kaum murtad sempat membunuh Malik bin Nuwairah, kemudian menikahi istrinya; Maka ketika Umar bin Al-Khathab mengetahui hal itu, kemudian ia mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar dan memintanya memanggil Khalid dalam masalah tersebut.

Abu Bakar lalu memanggil Khalid. Khalid menceritakan kejadian yang dialaminya dan Abu Bakar dapat menerimanya dan menetapkannya dalam perkawinan yang dahulu pernah dianggap cacat bagi orang Arab. Kepada Umar ia berkata, “la mempunyai alasan bahwa ia melakukan pembunuhan karena tidak sengaja. Maka berhentilah lidahmu dari mencela Khalid.” Lalu Abu Bakar menyerahkan diyat Malik bin Nuwairah.

Ketika ia mencopot Khalid bin Sa’id, ia memberikan wasiat kepada Syarahbil bin Hasan, yang merupakan salah seorang gubernurnya, dengan mengatakan, “Uruslah Khalid bin Sa’id. Ketahuilah bahwa ia mempunyai hak yang wajib atas kamu sebagaimana kamu mempunyai hak atas dia ketika ia yang menjadi pemimpinmu. Kamu telah tahu kedudukannya dalam Islam dan bahwa ketika Rasulullah wafat, beliau telah mengangkatnya. Dulu aku memang mengangkatnya dan kini aku berpikir untuk mencopotnya. Semoga hal itu menjadi lebih baik bagi agamanya. Dan aku tidak menghendaki seseorang untuk menjadi gubernur. Dan aku telah meminta pendapat darinya di antara para panglima tentara yang lain, maka ia pun memilihmu. la memilihmu karena kamu adalah anak pamannya sendiri. Apabila muncul suatu hal yang kamu butuh pendapat orang yang bertakwa dan beri’tikad baik, maka orang pertama yang seharusnya engkau dahulukan adalah Ubaidah bin Al-Jarrah dan Mu’adz bin Jabal. Dan Khalid bin Sa’id adalah orang ketiganya. Hindarkanlah memutuskan pendapat sendiri dan meninggalkan mereka, atau jika kamu menyembunyikan dari mereka sebagian kebaikan.”

Demikianlah cara Abu Bakar dalam melakukan pengawasan terhadap para pegawainya: melaksanakan pencopotan dengan tanpa mempermalukan atau mencela orang yang dicopot, namun merangkulnya dan mengarahkan orang yang menggantikannya secara baik-baik untuk dapat bekerja sama dan menjadikannya sebagai salah satu dari tiga orang yang dimintai pendapatnya.

Dan pada akhirnya ketika ia wafat, orang-orang tidak ada yang melaknat atau mencacinya.

Umar bin Al-Khathab mengatakan, “Wahai khalifah Rasulullah, sungguh engkau telah membebani kaum sesudahmu dengan suatu beban dan melimpahkan kepada mereka tugas. Maka alangkah jauhnya orang dapat mengejar langkahmu. Maka bagaimana bisa menyusulmu?” []

Sumber: Dr. Muhammad Fathi, “Al Qiyadah fil Islam.” (terjemah).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 2 =