Kini Banyak Masjid Megah, Semoga Jadi Pusat Ibadah dan Peradaban
Foto: Islami.co
Oleh:
Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, berdiri dua masjid yang sangat megah di Pulau Jawa. Pertama, Masjid Sheikh Zayed di Solo, dan kedua, Masjid Al Jabbar di Bandung.
Kedua masjid itu amat sangat megah dan cantik. Tentu, biayanya pun mahal. Pembangunan Masjid Sheikh Zayed menelan biaya sekitar Rp 312 milyar dan Masjid Al Jabbar menggunakan anggaran APBD Jawa Barat senilai Rp 1 trilyun (seribu milyar rupiah).
Kemegahan dan keindahan masjid-masjid itu tentu saja patut kita syukuri. Sebelum itu, umat Islam Indonesia juga telah memiliki banyak sekali masjid-masjid yang sangat megah. Di Kota Makassar, kita mengenal Masjid 99 Kubah, dengan biaya sekitar Rp 45 milyar. Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, kita memiliki Islamic Center yang sangat megah. Begitu juga di Kota Depok, dikenal Masjid Kubah Emas, dan sebagainya.
Tentu saja, disamping kemegahan dan keindahannya, yang lebih penting adalah bagaimana memakmurkan masjidnya. Bukan hanya ramai sebagai tujuan wisata, tetapi masjid itu berfungsi sebagaimana mestinya, sebagai pusat ibadah dan pusat peradaban.
Allah SWT menjelaskan, bahwa: “Hanyasanya yang memakmurkan Masjid-masjid Allâh ialah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allâh, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Taubah: 18)
Jadi, yang mampu memakmurkan masjid-masjid Allah adalah manusia-manusia unggul dan istimewa, yakni mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, istiqamah mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya takut kepada Allah SWT.
Al-Quran surat at-Taubah ayat 18 itu sebenarnya memberikan isyarat jelas, bahwa jika akan membangun masjid, maka yang perlu disiapkan juga adalah manusia-manusia unggul yang mampu memakmurkannya. Manusia-manusia seperti itu adalah produk pendidikan. Mereka harus disiapkan, dibiayai pendidikannya, dan dibimbing, agar bisa menjadi manusia unggul dalam keimanan, ibadah, dan akhlaknya.
Hari Senin (9/1/2023), dalam perjalanan dengan Kereta Api, Surabaya-Bandung, saya melewati Masjid Al Jabbar. Segera saya tulis status di FB, alhamdulillah melihat Masjid Al Jabbar, yang megah dan cantik. Saya usulkan, agar dibangun Kampung Taqwa untuk memakmurkannya.
Secara keseluruhan, Masjid Al Jabbar berlokasi di lahan seluas 23 hektar. Alangkah baiknya, jika di sekitar masjid itu dibangun komplek perumahan dengan harga murah, atau bisa sewa dengan harga murah. Syaratnya, para penghuni komplek itu harus senantiasa shalat berjamaah di masjid dan aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Masjid al-Jabbar. Jadi, penghuni Kampung Taqwa perlu seleksi ketat. Tidak sembarangan orang bisa tinggal di dalamnya.
***
Almarhum Ust. Syuhada Bahri, ketua umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) tahun 2007-2015 membuat candaan, bahwa banyak masjid di Jakarta yang peserta shalat shalat subuh berjamaahnya, hanya tiga “saf”. Yaitu: safii, safrudin, dan safiudin. Candaan itu satu bentuk kritik internal yang perlu dipecahkan oleh umat Islam. Sebab, kejadian semacam itu bukan hanya terjadi di Jakarta.
Kepada pengurus beberapa masjid di Jakarta, saya menyarankan agar mereka mengembangkan komplek masjidnya menjadi multi fungsi. Salah satunya adalah apartemen wakaf. Tujuannya supaya ada jamaah tetap yang akan memakmurkan masjid. Jangan sampai umat Islam semakin habis tergusur di Jakarta, sehingga masjid-masjidnya kemudian sepi jamaah.
Untuk menjadi pusat ibadah dan pendidikan, maka masjid itu sebaiknya memiliki “Imam besar” yang tinggal di sekitar masjid. Imam besar harus seorang ulama yang memiliki jiwa dan kemampuan leadership yang baik. Sebaiknya, sejak awal rencana pendirian masjid, sudah disiapkan pula Imam besarnya. Jika perlu dikuliahkan sampai tingkat doktor dalam bidang ulumuddin. Setelah lulus, ia kembali ke masjid untuk memimpin aktivitas ibadah dan keilmuan.
Sejauh yang saya tahu, masih amat langka masjid yang memiliki program kaderisasi imam masjid berkualitas ulama. Ada sejumlah masjid yang sibuk merenovasi bangunan masjidnya, tetapi tidak memprioritaskan pendidikan imam atau khatibnya.
Inilah salah satu cara menjadikan masjid sebagai pusat peradaban. Pusat peradaban bukan berporos pada gedungnya, tetapi berporos pada manusianya; pada ulama yang sehari-hari memang tinggal di masjid atau di komplek masjid itu.
Jadi, kita sarankan, agar pembangunan masjid yang megah dan indah, sebaiknya segera diikuti dengan konsep dan program untuk memakmurkannya. Semoga Allah membimbing pihak-pihak yang saat ini mendapatkan amanah untuk memimpin dan mengurus masjid. Aamiin.*
