Kemurahan Hati Rasulullah Saw
Ilustrasi: Kaligrafi Muhammad Saw di Masjid Hagia Sopia, Istanbul.
RASULULLAH SAW adalah orang yang sangat bermurah hati. Murah hati atau santun adalah akhlak yang paling mulia yang harus menjadi perhiasan seorang pemimpin. Sebab murah hati merupakan keutamaan bagi orang-orang yang berakal. Di dalamnya terdapat jiwa yang selamat, tubuh yang sehat dan mendatangkan banyak pujian.
Dari Abdullah, ia berkata, “Selesai perang Hunain, Rasulullah membagi-bagikan harta ghanimah. Beliau memberi seratus ekor unta kepada Al-Aqra’ bin Habis dan juga kepada Uyainah dengan jumlah yang sama. Beliau juga memberikan bagian kepada orang-orang (sesuai dengan kapasitasnya).
Kemudian seorang laki-laki berkata, “Aku tidak menginginkan bagian ini karena Allah (karena menurutku bagian ini tidak adil).”
Mendengar itu, aku berkata dalam hati, “Aku akan memberitahukan hal ini kepada Rasulullah.” Kemudian aku memberitahukannya kepada beliau. Mendengar itu, beliau bersabda, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Musa, yang mendapatkan cobaan lebih dari ini, akan tetapi ia tetap bersabar.” (Shahih Al-Bukhari)
Dari Sa’id, ia berkata, “Ketika kami berbincang-bincang bersama Rasulullah yang sedang membagi harta ghanimah, tiba-tiba seseorang yang sedang menderita radang kulit-berasal dari Bani Tamim- menghadap kepada beliau, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah.” Mendengar teguran orang tersebut, Rasulullah menjawab, “Celakalah kamu, siapa yang akan berlaku adil jika aku tidak berbuat adil. Kamu telah putus harapan dan merugi. Jika aku tidak berlaku adil, lalu siapa yang mau berbuat adil?”
Setelah Rasulullah mengatakan demikian, maka Umar bin Al-Khathab berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah aku untuk memenggal lehernya.” Beliau menjawab, “Biarkan saja. Karena sesungguhnya ia mempunyai beberapa pengikut setia, dimana salah seorang di antara kalian akan merasa rendah dalam shalatnya jika dibanding shalat mereka, akan merasa rendah puasanya jika dibanding dengan puasa mereka; mereka membaca Al-Qur`an, akan tetapi tidak melebih tenggorokan mereka (hanya sekadar dalam mulut saja), mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya; dilihatnya pada mata tombak akan tetapi tidak ditemukan sesuatu pun, lalu pada pegangannya (kesolidan mereka) maka tidak ditemukan sesuatu pun, lalu dilihat pada anak panahnya maka tidak ditemukan sesuatu pun, lalu dilihat pada kotorannya maka tidak ditemukan sesuatu pun karena kotoran dan darah telah menjadi tanda bagi mereka. Seorang lelaki berkulit hitam dengan salah satu lengan atasnya seperti puting susu perempuan atau seperti seiris daging yang bergoyang. Pada suatu ketika nanti, mereka akan keluar membentuk golongan yang terpisah dari yang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Abu Sa’id berkata, “Aku bersaksi, bahwasannya aku pernah mendengar hadits ini dari Rasulullah, dan aku bersaksi bahwa Ali bin Abi Thalib telah memerangi mereka dan aku ikut memerangi mereka.” Maksudnya, kaum Khawarij, dan Imam Ali telah memerangi mereka dalam peristiwa An-Nahrawan.”
Dari Umar, ia berkata, “Ketika Abdullah bin Ubay meninggal dunia, Rasulullah diundang untuk menyalatkan jenazahnya. Lalu beliau memenuhi undangannya. Ketika beliau telah berdiri dan siap untuk shalat, aku segera menghalangi beliau dengan berdiri di hadapannya seraya mengingatkan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau mau menyalatkan jenazah musuh Allah Abdullah bin Ubay yang mengatakan begini begini begini -maksudnya, menghitung amal perbuatannya ketika masih hidup-?”
Kemudian perawi bercerita lebih lanjut, “Mendengar peringatanku yang kuucapkan berulang-ulang ini, Rasulullah hanya tersenyum dan menjawab, “Wahai Umar, menjauhlah dariku. Karena sesungguhnya aku diberi pilihan dan aku pun telah memilih. Telah dikatakan kepadaku, “Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka,” (At-Taubah: 80) kalaulah aku mengetahui bahwa jika aku menambahkan lebih dari tujuh puluh kali Allah berkenan mengampuninya, maka aku akan menambahkannya.”
Lalu perawi berkata lebih lanjut, “Kemudian beliau menyalatkannya dan mengiringi jenazahnya, dan beliau pun berdiri di atas kuburnya hingga pemakaman selesai.”
