Takutnya Umar bin Abdul Aziz kepada Allah SWT
Ilustrasi: Makam Umar bin Abdul Aziz.
IMAM ABU Yusuf, seorang ulama besar dan qadhi, sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah ra, menuliskan dalam mukadimah kitab “Al Kharaj” tentang kepribadian Umar bin Abdul Aziz ra, salah satu khalifah Bani Umayyah.
Imam Abu Yusuf menceritakan, taktala Umar bin Abdul Aziz rahimahullah wafat, para fuqaha datang ke hadapan isteri beliau untuk berbela sungkawa dan menghiburnya atas besarnya musibah yang menimpa kaum muslimin dengan meninggalnya sang khalifah.
Mereka katakan kepada isteri khalifah itu: “Kabarkanlah kepada kami tentang almarhum, karena yang paling mengetahui keadaan seseorang adalah keluarganya”.
Isteri khalifah itu berkata: “Demi Allah, almarhum bukanlah orang yang paling banyak shalat dan puasanya dibandingkan dengan yang lain, tetapi demi Allah belum pernah aku melihat seorang hamba yang lebih hebat takutnya kepada Allah dari pada almarhum Umar.
Beliau rahimahullah telah meluangkan jiwa dan raganya untuk kepentingan umat. Almarhum siap melayani kebutuhan-kebutuhan mereka sepanjang hari: apabila waktu sore telah menjelang, sementara masih tersisa pekerjaan melayani kepentingan umat yang harus diselesaikan, beliau segera melanjutkan pekerjaan itu pada malam harinya.
Pernah suatu sore, selesai melayani kepentingan umat, beliau meminta lampu yang dibeli dari hartanya sendiri, lalu melaksanakan shalat dua rakaat, setelah itu beliau berjongkok dengan meletakkan tangan di bawah dagunya, sementara air mata beliau jatuh bercucuran di pipinya, dan beliau melakukan yang demikian itu hingga terbit fajar, sedangkan paginya beliau berpuasa.
Lalu aku tanyakan: “Wahai Amirul Mukminin, ada apa gerangan….Tidak pernah aku melihatmu melakukan seperti tadi malam?”
Beliau menjawab: “Memang benar, sungguh engkau pun mengetahui bahwa aku telah diserahi urusan seluruh umat ini, baik yang berkulit putih maupun hitam: lalu aku ingat akan orang yang terasing, peminta-minta yang merendah, orang yang kehilangan, orang-orang fakir yang sangat membutuhkan, tawanan yang tertekan jiwanya dan lain sebagainya di berbagai tempat di bumi ini: dan aku tahu persis bahwa Allah SWT pasti akan menanyaiku tentang mereka, dan Muhammad Saw niscaya akan membantahku dalam masalah mereka (jika aku mangkir); karena itulah aku takut akan diriku sendiri.’
Demi Allah, jika Umar berada pada puncak kebahagiaan seorang laki-laki bersama istrinya, lalu ia ingat suatu urusan Allah, maka ia akan terguncang sebagaimana terguncangnya burung pipit yang tercebur di air, lalu suara tangis menjadi-jadi sampai aku melemparkan selimut kami, rahimahullah.”
Istri khalifah itu kemudian berkata, “Demi Allah, sungguh aku ingin sekali bila jarak antara kami dengan urusan pemerintahan itu melebihi jarak dua kutub. Timur dan Barat.” []
