Wahai Pemuda Inilah Skala Prioritas Menikah
Jika kita cermati, dalam berbagai kesempatan (hadits) Rasul mendorong kaum muslimin untuk menikah, sabda beliau Saw:
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung beban pernikahan maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits Rasulullah yang lain, menyatakan:
“Pernikahan adalah bagian dari sunahku, maka siapa saja yang tidak beramal sesuai dengan sunahku, maka ia bukan bagian dariku, dan sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain, dan siapa saja yang memiliki bekal maka hendaklah ia menikah, dan siapa yang tidak mendapati bekal, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR Ibn Majah).
Perintah Rasulullah dalam berbagai hadits tentang dorongan menikah, disepakati oleh mayoritas para fukaha bahwa hukum menikah asalnya adalah mandub/ sunnah, bukan bermakna wajib. Terbukti dalam as-sunah, beliau Saw membiarkan ada beberapa sahabat yang tidak menikah.
Namun kondisi tertentu ada yang membuat hukum asal menikah itu menjadi berubah. Berubahnya hukum menikah bukan berarti sekonyong-konyong hukum bisa bergonta-ganti atau berubah-ubah, tapi perubaan itu semata-mata memang Asy-syari’ menghendaki perubahan itu. Untuk itu, kita akan mengutip apa yang disampaikan oleh Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah (juz 2 hal. 12-15, Darul Fikri, tahun 1412 H/1992 M), tentang hukum-hukum (prioritas) menikah, diantaranya:
- HUKUMNYA HARAM. Jika kita tidak memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Sementara nafsu dan jiwa dari kedua belah pihak sudah menggelora. Alias hanya dilandasi nafsu saja.
- HUKUMNYA MAKRUH. Apabila kondisi kita tidak memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Dan nafsu dan jiwa kita sudah menggelora. Tapi pihak si wanita menerima kondisi ini.
- HUKUMNYA SUNNAT. Jika kondisi kita telah memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Nafsu dan jiwa kita telah menggelora. Serta tidak ada kekhawatiran dalam diri kita (atau merasa aman) dari perzinaan.
- HUKUMNYA WAJIB. Jikalau kita telah memiliki kemampuan, baik materiil maupun biologis. Nafsu dan jiwa kita telah menggelora. Dan kita merasa terancam atau khawatir terjerumus dalam perzinahan.
- HUKUMNYA MUBAH ATAU JAIZ ATAU BOLEH. Maksudnya, jika kondisi kita biasa-biasa saja, tidak ada kondisi yang mewajibkan atau mensunnatkan, dan tidak ada pula kondisi yang mengharamkan atau memakruhkan.
Dari kelima pertimbangan diatas, kita termasuk yang mana, kita lah yang paling tahu. Pertimbangkan dengan bijak dan sempurna, tidak usah tergesa-gesa. Jika memang kita masih dalam posisi Haram maupun Makruh, maka segera luruskan niat, perbaiki diri, perbanyak puasa, taqarub kepada Allah, dan pelajari Islam lebih dalam. Jika kamu masih dalam posisi Mubah, maka tidak usah terlalu cepat ambil kesimpulan, coba disiapkan dengan benar, hingga kita berada pada posisi yang Sunnah atau bahkan Wajib.
Mengetahui hukum menikah ini akan bisa memberikan penjelasan kepada kita, kapan saatnya seseorang meminang atau menerima pinangan. Bagi mereka yang sudah wajib untuk menikah, ia akan bisa menikah jika sebelumnya telah meminang (mengkhitbah) seorang wanita. [lukyrouf]