Suami Bukan Malaikat, Isteri Bukan Bidadari

 Suami Bukan Malaikat, Isteri Bukan Bidadari

CIVILITA.COM – Ketika Allah membebankan kewajiban bagi suami mencari nafkah, sedang isteri sebagai ibu rumah tangga, sudah pas sesuai dengan porsinya, dan itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita mempersoalkan masalah “ketidaksempurnaan” pasangan kita, saat menjalankan tugasnya masing-masing.

Ketika Allah memberikan porsi antara suami-isteri, kita yakin secara imani bukan karena Allah mau men-super-kan laki-laki dan mem-babu-kan perempuan. Kalau kita sibuk berkonsentrasi menyoal itu, maka ujung-ujungnya kita akan menggugat hak prerogratif Allah Swt, seperti yang dilakukan oleh kaum feminis.

Adalah kesalahan dan kebohongan besar kaum feminis yang sok modernis, kalau mereka mengotak-atik “nilai lebih” laki-laki dan “nilai rendah” wanita. karena sejatinya, bukan disitu persoalannya. Persoalannya adalah pada ketidakmampuan kita (suami-isteri) mengelola “nilai” tadi, dan itu mencuat di permukaan karena sering di ekspos oleh media.

Sejatinya soal menyoal kelemahan pasangan, akan muncul pada dua kondisi. Pertama, saat masing-masing tidak bisa menempatkan diri sesuai dengan porsinya, dan; Kedua saat keduanya tidak bisa memahami posisi pasangannya masing-masing.

Bisa jadi kita sebagai suami terlalu sibuk diluar rumah, bekerja ataupun berdakwah. Begitu sampai di rumah kita minta dilayani oleh isteri kita, karena menurut kita itu kewajiban istri yang merupakan hak suami. Namun begitu ‘pelayanan” itu kurang memuaskan, tidak sempurna, tidak sesuai harapan, maka buru-buru kita menganggapnya sebagai sebuah noktah dalam rumah tangga kita.

Rumah tangga adalah tempat kembali yang nyaman. Namun rumah tangga akan jadi neraka bagi penghuninya jika keharmonisan jadi barang mahal yang tak terbeli dengan rupiah. Konflik, cekcok bukan lagi jadi bumbu rumah tangga, melainkan sudah menjadi sarapan sehari-hari.

Barangkali sang istri terlalu banyak tuntutan, berbagai pemenuhan material dimintanya pada suami, sampai diluar batas kemampuan suami untuk menanggungnya. Tak sedikit yang kemudian memiliki sikap “dingin”. Jangan dianggap sepele, selain memicu sikap percekcokan, bisa juga sebagai pertanda bubrahnya tatanan rumah tangga.

Mungkin apa yang kita tuntut kepada suami kita, memang tertunda terlaksananya. Jikalau tertunda terlaksananya, kita hanya butuh kesabaran untuk menunggunya. Tapi jika memang tuntutan itu tidak bisa atau bahkan suami tidak mau memenuhinya. Maka kita hanya butuh komunikasi untuk menyelesaikannya.

Berbagai ketegangan di dalam rumah, bisa jadi memang bagian dari bumbu kehidupan keluarga. Akan tetapi, bila bumbu itu berlebihan, maka masakan pun tak enak dan bisa jadi malah berbalik menjadi racun yang membunuh.

Seseorang sah-sah saja melukiskan secara sempurna calon pasangannya. Kita mungkin melukis calon pasangan kita, adalah seseorang suami/isteri yang cakep, kaya, keturunannya baik, dan agamanya juga mumpuni. Namun harus kita pahami, adakalanya semua sifat yang kita lukiskan itu tidak berkumpul jadi satu pada pasangan hidup kita.

Adalah boleh mendamba seorang isteri yang cantik, yang selalu melayani kita, yang pandai berdandan, santun perilakunya, baik akhlaknya, dan lain-lain. Namun jika dambaan itu berubah menjadi tuntutan yang harus ada dan dipenuhi, maka kita hanya akan menjadi seorang yang hidup selalu penuh dengan kekecewaan.

Mungkin kita bermimpi bertemu gambaran ideal tentang sosok seorang istri/suami yang sesuai dengan mimpi kita. Seolah-olah, dia sedang melukiskan dengan tangannya, sosok seorang wanita yang ada di dalam impiannya. Namun Allah boleh berkata, Sesungguhnya wanita/pria yang kamu cari itu ada, tetapi kamu harus bersabar menunggu hingga hari kiamat tiba, karena sosok wanita/pria seperti itu tidak akan didapatkan kecuali di surga.

Idealis boleh, tapi realistis adalah harus. Bersikap sederhana dalam tuntutan adalah hal yang bijak. Nabi Saw.: “Janganlah seorang mukmin benar-benar membenci istrinya, jika dia tidak menyukai satu perangainya bisa jadi dia akan senang dengan perangainya bisa jadi dia akan senang dengan perangainya yang lain” (HR. Muslim)

Inilah sunatullah terhadap mahluk-Nya; tidak ada satu sosok yang memiliki sifat sempurna pada diri manusia. Suami bukan malaikat dan istri juga bukan seorang bidadari. Bisa jadi ada seseorang yang kecantikannya biasa saja, tetapi dia memiliki kebagusan agama dan perilaku yang mulia. Adakalanya seseorang berasal dari keluarga kaya, eh ternyata malah kurang makruf perilakunya, begitu seterusnya hingga akhirnya sampai pada suatu titik, no body perfect. [lukyrouf]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *