Street Smart Dalam Pernikahan
CIVILITA.COM – Singkat kata, street smart adalah orang-orang yang berhasil dididik oleh perjalanan hidupnya hingga melebihi berhasilnya orang-orang yang didik secara formal. Kalau anda mengenal Buya Hamka, menurut referensi yang beliau menjadi ulama termasyhur, pernah menjadi ketua MUI, dan menulis Tafsir al-Azhar. Belaiu salah satu sosok ulama yang street smart, ulama yang tidak pernah menempuh pendidikan formal, tapi memiliki segudang prestasi di atas.
Di bidang motivasi, ada Andre Wongso, yang konon juga tak lulus SD. Dalam bidang bisnis, sudah banyak contohnya. Ada Bambang Mustari Sadino (Bob Sadino), Purdi Candra (LBB Primagama), dll. Mereka, dengan kekurangan masing-masing tapi mereka pernah memberi inspirasi bahwa proses keberhasilan tidak diawal. Bisa jadi keberhasilan itu terjadi ketika kita mau berproses dan sudi menjalani proses.
Pun dengan pernikahan. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi proses memahami dan memahamkan terus terjadi dalam pernikahan. Dari situlah kita akan menjadi pribadi yang bijak (smart) menyikapi persoalan kehidupan pernikahan.
Jadi siapa bilang, kita yang sudah menikah berhenti belajar? Tidak! Kita yang sudah menikah, baru ataupun lama masih dan akan selalu belajar dari perjalanan pernikahan diri ataupun pernikahan orang lain. Belajar memahami dan memahamkan pasangan dan anggota keluarga yang lain, dan tentu saja sebagai muslim-muslimah kita terus belajar bagaimana menyelesaikan setiap persialan dengan bimbingan syariat-Nya.
Hampir semua pasangan menginginkan rumah tangganya baik-baik saja, meski perceraian itu sendiri dibolehkan jika memang keduanya tak bisa lagi didamaikan. Jauh sebelum itu, dalam berumah tangga ada yang namanya proses “memahami-memahamkan” baik terjadi oleh suami kepada istri, atau sebaliknya.
Terutama bagi pasangan yang proses pertemuannya singkat, maka proses memahami dan memahamkan bisa berlanjut di pernikahan. Misal kongkritnya, kalau ada suami ternyata kalau tidur ngorok, tapi baru diketahui setelah menikah, maka ada proses memahami dan memahamkan dari istri. Misal juga, kalau ada seorang istri ternyata setelah menikah masakannya tidak enak, tidak sesuai selera suami, maka disitu ada proses memahami dan memahamkan dari seorang suami.
Dan proses itu tak berbatas waktu. Nah, bagi yang tak mau memahami hal seperti itu jika salah satunya menuntut kesempurnaan pasangan, maka ketidaksempurnaan pasangan jika tidak dipahami dan dipahamkan bisa memicu perceraian.
Tapi pada proses tertentu, proses memahami dan memahamkan itu bisa berbatas waktu jika terkait hal yang secara hukum wajib ataupun haram. Disitulah perceraian bisa menjadi pilihan alias boleh dilakukan. Ingat, perceraian bukanlah dosa yang akan menjadi aib seseorang. Apa yang sudah berlaku di masyarakat bahwa perceraian dianggap aib sehinga kedua pasangan atau kedua keluarga kadang bermusuhan. Padahal setelah perceraian ada hak dan kewajiban utamanya bagi laki-laki/suami untuk menafkahi anak-anak dan wanita/istri untuk mengasuh anak.
Semoga kita tetap diberi kebisaaan oleh Allah untuk mau terus belajar memahami dan memahamkan. [lukyrouf]